YOGYAKARTA, JAKARTAMU.COM | Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ajengan Wawan Gunawan Abdul Wahid menyatakan bahwa qiyas adalah salah satu cara untuk melakukan ijtihad. Pandangan tersebut ia sampaikan dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (13/11) dengan mengutip pendapat Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah.
“Qiyas adalah cara bagi seorang mujtahid untuk menemukan hukum bagi suatu kasus baru dengan menganalogikannya pada kasus yang sudah ada dasar hukumnya,” ujar Wawan.
Menurutnya, secara bahasa, qiyas berarti analogi atau menyamakan. “Menyamakan kasus baru yang belum ada hukum jelasnya dengan kasus lama yang sudah ada hukum dasarnya karena kesamaan sebab hukumnya,” jelasnya.
Wawan mencontohkan penerapan qiyas dalam hukum keharaman khamar, yang dasar hukumnya sudah ada dalam Al-Qur’an. “Al-Qur’an jelas melarang khamar karena sifatnya yang memabukkan,” ungkapnya. Menurutnya, hal ini dapat dianalogikan pada minuman keras lain seperti whisky, sake, atau narkoba karena mengandung unsur al-iskaru (memabukkan) yang sama dengan khamar.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Ajengan Wawan menjelaskan bahwa qiyas memiliki empat rukun, yaitu al-aslu (kasus dasar dengan hukum yang sudah ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah), hukmul asli (ketentuan hukum pada kasus dasar), al-far’u (kasus baru), dan illah (sebab hukum yang mendasari persamaan keduanya). Dalam konteks ini, sebab hukum pada kasus khamar adalah sifat memabukkan, sehingga minuman memabukkan lain dapat disamakan hukumnya.
Selain itu, Wawan juga menceritakan dialog Nabi Muhammad dengan Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman. Dalam dialog tersebut, Nabi menguji kemampuan ijtihad Mu’adz dalam mengambil keputusan hukum jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah. Mu’adz menjawab bahwa ia akan menggunakan akal atau ijtihadnya sendiri.
“Ini menunjukkan betapa pentingnya ijtihad dengan metode qiyas dalam menjawab persoalan-persoalan baru yang tidak ada dalam nash,” jelasnya.
Wawan menambahkan bahwa dalam praktiknya, Sayyidina Umar juga menggunakan pendekatan yang serupa. Ketika para gubernurnya bertanya tentang cara mengatasi persoalan baru, Umar menyarankan untuk melihat kasus-kasus yang sudah ada hukumnya sebagai dasar untuk menentukan putusan.
“Qiyas adalah sumber hukum yang paling subur,” katanya, sambil menambahkan contoh zakat fitrah yang dibayarkan dengan beras sebagai makanan pokok di Indonesia, meskipun dalam hadis Nabi yang disebutkan adalah kurma atau gandum. Hal ini, lanjutnya, merupakan bentuk qiyas karena kesamaan sifat sebagai makanan pokok. (Sumber)