MALAM merambat seperti hembusan dingin yang tak diundang. Kau sudah lama mematikan lampu kamar, tapi aku masih terjaga di ruang tamu. Lilin kecil berkedip di atas meja, seakan ikut menahan napas, takut padam sebelum waktunya.
Aku memandangi pintu kamar yang tertutup. Ada ribuan kata yang mendesak keluar dari dadaku, tapi bibirku tak mau lagi menuruti. Setelah semua diam yang kita pelihara, rasanya tak pantas bila aku tiba-tiba memaksa penjelasan. Karena bahkan alasanmu pun, aku tak yakin masih ingin kudengar.
Kupeluk lututku sendiri, menunduk lama. Di antara semua yang retak, satu-satunya yang tetap utuh adalah pertanyaan: mengapa aku masih bertahan di rumah yang tak lagi menjadi rumah? Mengapa aku masih bangun lebih dulu untuk memastikan kau punya baju kerja yang bersih, memastikan meja makan tetap rapi meski kau tak pernah lagi duduk di sana?
Dan jawabannya selalu sama. Sederhana. Pedih. Tapi jujur.
Karena ada satu alasan yang belum pernah mati.
Karena ada satu anak yang masih memanggil kita “Ayah dan Ibu.”
Pagi itu, aku menjemputnya di asrama. Sudah dua bulan ia tak pulang. Wajahnya berseri ketika melihatku berdiri di gerbang sekolah. Dia berlari memelukku dengan hangat yang tak kutemukan lagi di rumah.
“Ibu, kangen sekali,” katanya, polos, tulus, tanpa prasangka.
Aku membalas pelukannya, berusaha menahan tangis. Karena di dekapannya, aku menemukan sisa diriku yang dulu. Perempuan yang masih punya mimpi tentang keluarga yang utuh.
Dalam perjalanan pulang, ia bercerita panjang lebar. Tentang pelajaran, tentang teman baru, tentang cita-citanya kelak. Suaranya menjadi pelipur luka yang tak pernah sembuh. Dan saat ia tertidur di kursi belakang, aku memandang wajah kecil itu, bertanya dalam hati: “Kalau bukan karena dia, barangkali aku sudah lama pergi.”
Sore itu, kau pulang lebih cepat dari biasanya. Kau terkejut mendapati ia sudah di rumah. Kau tersenyum senyum yang lama tak kulihat. Senyum yang terasa janggal, karena aku tak tahu lagi apakah itu tulus atau hanya kebiasaan.
Malam pun datang. Kita bertiga makan di meja yang dulu sering kosong. Untuk beberapa jam, rumah ini seperti kembali bernyawa. Kau sesekali menimpali ceritanya, mengusap kepalanya. Dan di sela tawa kecilnya, aku nyaris percaya semua ini hanya mimpi buruk yang sebentar lagi usai.
Tapi ketika ia tertidur, kau berdiri, hendak ke kamar. Kau berhenti di sampingku, seakan ingin bicara. Tapi kau hanya menatapku, napasmu panjang, sebelum akhirnya menggeleng pelan.
Aku pun diam. Karena bahkan jika kau bicara, aku tak yakin masih sanggup memercayai apa pun.
Aku memindahkan anak kita ke kamarnya, menyelimutinya hati-hati. Menatap wajahnya yang damai. Dalam tidur, ia tak tahu betapa rapuh fondasi rumah ini. Betapa ayah dan ibunya sudah berdiri di dua ujung jalan yang tak lagi bertemu.
Aku berjalan pelan kembali ke ruang tamu. Duduk di kursi, membiarkan tubuhku tenggelam dalam letih yang panjang. Dan di sanalah aku sadar: satu-satunya alasan aku bertahan adalah dia. Satu-satunya yang membuatku menunda pergi.
Karena sebelum ia cukup besar untuk mengerti, aku tak ingin jadi alasan ia merasa tak punya rumah.
Di luar, hujan masih turun. Bulan tertutup awan. Dan aku pun duduk di sana, menatap gelas kosong di meja, mengisi malam dengan gumam yang tak akan kau dengar.
Aku masih di sini.
Aku belum pergi.
Bukan karena aku mencintaimu seperti dulu.
Tapi karena aku mencintai anak kita lebih dari segalanya.
Dan untuk sementara, itu cukup untuk membuatku tetap tinggal.
(Bersambung seri ke-12: Janji yang Akhirnya Kulepaskan)