Oleh Andi Reza Rohadian | Wartawan Senior
TANGGAL 12 Mei dua puluh tujuh tahun lampau empat mahasiswa universitas Trisakti tewas ditembak aparat keamanan. Saat tersungkur, meregang nyawa, mereka sedang melakukan aksi demonstrasi menentang kekuasaan rezim Soeharto yang sarat dengan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Tanpa kematian Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie, mungkin pemerintahan Orde Baru masih bisa mengulur waktu untuk mempertahankan kekuasaan. Menyusul kepergian mereka, demo mahasiswa semakin membesar dan meluas di seluruh penjuru negeri. Demo mahasiswa juga ditingkahi dengan kerusuhan rasial di sejumlah kota besar, yang hingga kini masih gelap siapa dalangnya.
Sehari berselang ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Dengan lantang mereka menyerukan Soeharto untuk turun tahta. Ketua DPR Harmoko yang menerima mahasiswa lantas mendesak Soeharto mengundurkan diri. Beberapa menteri kepercayaan Presiden kedua RI pun goyah imannya. Mereka meletakkan jabatan.
Menghadapi kenyataan itu, tak ada jalan lain bagi Soeharto untuk mempertahankan kedudukannya. Tanggal 14 Mei ia menyatakan mundur sebagai presiden. Sepeninggal Soeharto, MPR menerbitkan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Toh, korupsi tetap sulit dibasmi. Kendati para pencoleng yang menyalahgunakan Bantuan Likuidasi Bank Indonesia diperiksa dan ditahan oleh Kejaksaan Agung, tak sedikit dari mereka yang memperoleh Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP 3). Kalau pun berhasil diseret ke meja hijau, mereka banyak yang mendapat vonis bebas.
KPK Antithesis Kejaksaan dan Polri
Gerah dengan perilaku lembaga penegak hukum, Pemerintahan Megawati kemudian membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga yang terbetuk tahun 2000 ini benar-benar berlaku sebagai antithesis Kejaksaan dan Polri. KPK yang bersatus lembaga adhoc tidak mengenal SP3, setiap tersangka pasti diajukan ke meja hijau.
Sejak resmi beroperasi tahun 2002 KPK tanpa ampun mencokok satu per satu tikus negara. Tak pandang bulu, apa pun jabatannya, dari walikota, bupati, gubernur, anggota DPR, jenderal polisi, deputi gubernur Bank Indonesia, direktur BUMN, ketua parpol, sampai menteri, yang tertangkap tangan menerima rasuah dijebloskan ke penjara. Publik sangat puas dan mengapresiasi gebrakan KPK.
Tapi tentu saja banyak juga pihak yang gerah dengan aksi KPK.Kisah Polri yang menolak jenderalnya diciduk KPK sampai-sampai melahirkan cerita berseri Cicak versus Buaya sebanyak tiga jilid.
Puncaknya KPK benar-benar dilucuti oleh pemerintah. Begitu kembali terpilih sebagai presiden RI untuk periode kedua, pada tahun 2019 Joko Widodo langsung tancap gas merevisi UU KPK. Institusi yang bermarkas di kawasan elit Kuningan, Jakarta Selatan, tak lagi powerful. Statusnya diletakkan di bawah ranah eksekutif, para pegawai dan penyidiknya berstatus ASN yang notabene harus loyal pada pemerintah.
Perlahan tapi pasti pemerintah memperkuat peran Kejaksaan Agung dalam menangani perkara korupsi. Meski masih banyak oknum jaksa nakal, pemerintah tak ragu menyerahkan penanganan skandal bernilai fantastis belasan triliun hingga mendekati 1 kuadriliun rupiah ke Gedung Bundar (kantor unit pidana khusus Kejaksaan Agung).
Danantara Jangan Mengabaikan Perjuangan Martir Reformasi
Nah, di tengah karut marut korupsi yang tiada ujung, rezim Prabowo Soebianto membentuk Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). Berdiri di bawah payung UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, lembaga anyar ini merupakan pengelola dana sebesar US$900 miliar atau sekitar Rp 14.850 triliun (asumsi kurs Rp 16.500).
UU BUMN juga menempatkan direksi dan komisaris perusahaan pelat merah ini bukan sebagai penyelenggara negara. Hal itu tertuang dalam Pasal 3X yang menyebutkan bahwa organ dan pegawai badan ini bukan merupakan penyelenggara negara. Sedangkan status anggota direksi, dewan komisaris dan dewan pengawas Danantara bukan penyelenggara negara diatur di pasal 9G.
Menanggapi kelahiran UU BUMN baru itu, KPK menyatakan ketentuan soal penyelenggara negara, kontradiktif dengan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
KPK juga mengingatkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah hukum administrasi khusus yang secara eksplisit mengatur penyelenggara negara dalam konteks pencegahan KKN. Oleh karena itu, dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK tetap merujuk dan berpedoman pada UU 28 Tahun 1999.
Singkat kata, KPK menyimpulkan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara sesuai dengan UU 28 Tahun 1999. Dan sebagai penyelenggara negara, para pengurus BUMN tetap memiliki kewajiban menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan melaporkan penerimaan gratifikasi.
Menanggapi ketentuan Pasal 4B UU Nomor 1 Tahun 2025 mengenai kerugian BUMN yang disebut bukan merupakan kerugian keuangan negara, serta Pasal 4 ayat (5) yang menyatakan bahwa modal negara yang disetor pada BUMN merupakan kekayaan BUMN, KPK mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013, yang kemudian diperkuat oleh Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan Nomor 26/PUU-XIX/2021. Seluruh putusan tersebut menjadi acuan final mengenai kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam putusan-putusan tersebut, Majelis Hakim MK menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam konteks BUMN sebagai derivasi dari penguasaan negara.
Berdasarkan hal tersebut, KPK menyimpulkan bahwa kerugian yang terjadi di BUMN tetap merupakan kerugian keuangan negara, yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidananya kepada Direksi, Komisaris, dan Pengawas BUMN. Pertanggungjawaban secara pidana ini dapat dikenakan apabila kerugian keuangan negara tersebut timbul akibat perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) sebagaimana diatur dalam Pasal 3Y dan Pasal 9F UU Nomor 1 Tahun 2025. Hal ini mencakup tindakan seperti fraud, suap, tidak adanya iktikad baik, konflik kepentingan, maupun kelalaian dalam mencegah timbulnya kerugian negara.
Bagaimana pun upaya KPK harus didukung. Entah apa jadinya jika sebuah badan investasi pengelola dana superjumbo bekerja tanpa rambu-rambu antikorupsi. Jika sampai terjadi pembobolan di institusi yang masuk 10 besar pengelola dana investasi terbesar di dunia, bukan hanya Danantara yang ambruk, negara pun pasti bangkrut.
Pemerintah saat ini hendaknya tidak menafikan buah perjuangan mahasiswa yang melahirkan reformasi 1998. Jangan sia-siakan kematian para pahlawan reformasi Tanpa reformasi tidak akan terbentuk Republik Indonesia yang demokratis.Yakni, anggota DPR yang dipilih rakyat, pemilihan kepala daerah dan presiden lima tahun sekali, lembaga-lembaga baru yang mengontrol jalannya pemerintahan.
Tanpa reformasi dahulu, tak mustahil pemerintahan negara ini menjelma junta militer seperti yang terjadi di Myanmar. Sungguh mengerikan.