Oleh Wahyudi Nasution | Anggota MPM PP Muhammadiyah, Karom KBIHU Arafah PDM Klaten 2025
PENYELENGGARAAN haji tahun 2025 masih memperlihatkan tantangan kronis tahunan. Katering, pemondokan, transportasi, minimnya fasilitas Armuzna, serta lemahnya pembinaan dan pendampingan jemaah menjadi persoalan yang mengemuka. Meskipun pemerintah telah berupaya memperbaiki sistem, fakta di lapangan menunjukkan problem haji tidak cukup diatasi dengan pendekatan birokratis semata.
Dalam konteks inilah, Muhammadiyah dipanggil kembali untuk memainkan peran lebih besar. Bukan hanya sebagai penyelenggara bimbingan manasik atau KBIHU tetapi mempelopori reformasi tata kelola haji yang lebih manusiawi, transparan, dan berbasis nilai keumatan.
Sejarah Kepeloporan Muhammadiyah
Peran Muhammadiyah dalam urusan haji bukan hal baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah telah menunjukkan visi tajdid dalam pelayanan ibadah ini. Pada tahun 1921, KH Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji. Unit ini tidak hanya membina jamaah di tanah air, tetapi juga mengutus delegasi resmi ke Tanah Suci.
Delegasi tersebut dipimpin oleh HM Sudja’, tokoh Muhammadiyah dari Yogyakarta, dengan misi melakukan negosiasi kepada otoritas Hijaz (sekarang Arab Saudi) untuk memperjuangkan pelayanan dan perlindungan jamaah haji asal Hindia Belanda. Ini menjadi tonggak awal diplomasi sipil dalam dunia perhajian yang lahir dari rahim gerakan Islam modern.
Langkah tersebut dilanjutkan oleh tokoh-tokoh setelahnya, seperti KH Mas Mansyur, KH Fahruddin, dan lainnya, yang aktif membangun sistem bimbingan dan advokasi jamaah. Pada masa pendudukan Jepang, bahkan Muhammadiyah sempat berinisiatif membeli kapal Jepang untuk mengangkut jamaah haji secara mandiri. Gagasan itu gagal karena meletusnya Perang Dunia II, tetapi menunjukkan keberanian strategis Muhammadiyah sejak dini.
Syarikah Saudi dan Ketidaksiapan Indonesia
Transformasi besar sedang terjadi di Arab Saudi. Pemerintah Kerajaan kini mengimplementasikan sistem syarikah, yaitu privatisasi layanan haji kepada perusahaan-perusahaan swasta lokal. Mereka mengelola hampir seluruh aspek operasional haji: hotel, katering, transportasi, bahkan manasik.
Tentu sistem ini menuntut adaptasi cepat dari negara-negara pengirim, termasuk Indonesia. Namun sayangnya, pemerintah Indonesia tampak belum sepenuhnya siap berhadapan dengan sistem yang berbasis korporasi itu. Mulai dari kurangnya pengawasan terhadap kontrak layanan, minimnya komunikasi langsung dengan pihak Syarikah, hingga rendahnya transparansi informasi yang diterima oleh jamaah.
Dampaknya adalah kebingungan, kekecewaan, dan bahkan ketidaknyamanan jamaah—yang seharusnya mendapat pelayanan optimal sebagai tamu Allah. Di titik inilah, kekuatan masyarakat sipil perlu masuk sebagai kekuatan korektif dan solutif.
Mitra Strategis dan Solusi Keumatan
Muhammadiyah memiliki tiga keunggulan strategis yang menjadikannya aktor kunci dalam perbaikan tata kelola haji. Pertama, Muhammadiyah memiliki infrastruktur organisasi dan KBIHU yang tersebar di seluruh Indonesia dan telah teruji dalam mendampingi jamaah secara profesional.
Kedua, Muhammadiyah punya akar tradisi reformis dan inovatif. Ini adalah modal yang mampu merespons tantangan baru secara adaptif, modern, dan berorientasi solusi. Ketiga, modal sejarah dan kepercayaan umat, yang membuatnya diterima luas sebagai pelayan umat, bukan pencari keuntungan.
Sudah saatnya Muhammadiyah naik kelas menjadi mitra strategis pemerintah, bukan sekadar pelengkap. Muhammadiyah bisa membentuk lembaga advokasi dan diplomasi haji, membangun komunikasi langsung dengan otoritas Arab Saudi dan pihak Syarikah, serta mendorong pembentukan model pelayanan haji berbasis komunitas—yang adil, transparan, dan akuntabel.
Seruan dari Tanah Suci
Kamis, 12 Juni 2025, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Arab Saudi menyelenggarakan acara Silaturahmi dan Temu Haji Muhammadiyah di Hotel Safwat Al Sharooq (502), Raudhah, Mekah. Hampir seribuan jamaah haji Muhammadiyah dari berbagai daerah di Indonesia hadir dengan antusias. Mereka datang bukan hanya untuk bersilaturahmi, tetapi juga untuk memperkuat jejaring pembinaan haji berbasis nilai dan ukhuwah.
Acara itu menyuarakan bahwa Muhammadiyah tidak hanya hadir di tanah air, tetapi juga di jantung dunia Islam. Sudah waktunya Muhammadiyah mengonsolidasikan seluruh kekuatan dan jaringannya, tidak hanya untuk membina jamaahnya, tetapi untuk membantu negara ini memperbaiki manajemen ibadah terbesar umat Islam sepanjang sejarah.
Pada akhirnya, haji bukan hanya urusan ritual melainkan panggung peradaban. Ia menunjukkan wajah bangsa, akhlak umat, dan kualitas kepemimpinan. Jika negara terus kewalahan menghadapi kompleksitas manajemen haji modern, maka masyarakat sipil yang kuat seperti Muhammadiyah harus mengambil peran. Haji adalah panggilan Allah, tetapi pelayanan haji adalah tanggung jawab manusia.
Sudah waktunya Muhammadiyah tidak lagi hanya mengawal. Muhammadiyah mesti memimpin perbaikan sistemik. Sejarah telah menegaskan bahwa Muhammadiyah selalu hadir saat umat membutuhkan. Inilah saat yang tepat bagi Muhammadiyah untuk kembali hadir, lebih strategis, lebih profesional, dan lebih berkeadaban. (*)