JAKARTAMU.COM | Label halal kini tak lagi sekadar tuntutan agama, tetapi telah menjadi standar mutu global. Di negara-negara maju, label ini bahkan menjadi jaminan bahwa sebuah produk telah memenuhi aspek kebersihan, higienitas, dan keamanan konsumsi. Namun, tidak semua produk pantas atau perlu mengantongi sertifikat halal.
Hal ini ditegaskan Adiba Qurrota A’yunin, analis riset kemasan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), dalam acara pendampingan UMKM halal yang digelar Istiqlal Halal Centre, Sabtu (19/7/2025).
Menurut Adiba, masih banyak pelaku usaha yang keliru memahami ruang lingkup sertifikasi halal. Salah satu contoh ekstrem adalah produsen mikrofon yang mengajukan sertifikasi halal karena produknya banyak digunakan di masjid dan musala. “Permintaan seperti itu jelas tidak relevan. Sertifikat halal diperuntukkan bagi makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan. Mikrofon tentu tidak masuk dalam kategori tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Adiba mengingatkan bahwa tenggat waktu kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) semakin dekat. Sesuai ketentuan PP Nomor 42 Tahun 2024, penahapan kewajiban itu berlangsung sejak 17 Oktober 2019 dan akan berakhir pada 17 Oktober 2026. Artinya, UMK hanya punya waktu sekitar satu tahun lagi untuk memastikan produk makanannya tersertifikasi halal.
Adiba juga menjawab keresahan para pelaku UMK yang menggunakan bahan olahan seperti topping ayam atau bakso eceran dalam produk mereka. “Selama bahan baku itu dibeli dari penjual atau ritel yang sudah bersertifikat halal, cukup lampirkan bukti pembeliannya. Tidak perlu mendaftarkan ulang produknya secara terpisah,” jelasnya.
Sertifikat halal, tambah Adiba, telah terbukti mendongkrak daya saing UMKM. Banyak pelaku usaha kecil yang mampu memperluas pasar setelah produk mereka mengantongi sertifikasi halal, termasuk menembus pasar ekspor di negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).