DARI luar, Keraton Yogyakarta terlihat tenang. Abdi dalem tetap berjalan melingkar membawa canang, gamelan masih berbunyi walau tak secerah dulu, dan para prajurit berdiri gagah di bawah payung kebesaran. Namun di balik tembok-tembok tebal Baluwarti, nadi kekuasaan berdenyut dengan detak yang tak terdengar rakyat kebanyakan—berirama lamat dan penuh sandi.
Para dalang kekuasaan, yang selama ini hidup dalam bayang-bayang sultan dan keraton, kini bergerak lebih bebas. Kekacauan pasca-Serangan Sepehi memberi celah besar bagi mereka: para penasehat istana, juru tulis senior, pejabat kawedanan, dan para penghubung antara Belanda, Inggris, dan kalangan bangsawan yang tengah berburu kekuasaan baru.
Salah satu tokoh utama di balik layar itu adalah Tumenggung Wangsasaputra, seorang pengatur protokol yang sejak dulu dikenal licin dan pandai membaca arah angin. Ia bukan keturunan darah biru, namun kecepatan lidah dan kelihaian membaca politik menjadikannya penting dalam proses transisi kekuasaan. Ketika Sultan Sepuh diasingkan, ia adalah orang pertama yang menyusun daftar abdi dalem yang dianggap “tidak loyal” dan menyerahkannya langsung pada Raffles.
“Kekuasaan bukan soal siapa yang berhak,” katanya pada seorang rekan malam itu di pendapa kecil belakang kraton. “Tapi soal siapa yang tahu kapan harus bicara, dan kapan harus diam.”
Di sudut lain Baluwarti, seorang penulis pujangga bernama R. Jayengratna memilih diam dari segala hiruk-pikuk. Ia menyimpan kitab-kitab lama dan tidak mau menulis tembang pujian untuk Sultan Raja. Dalam buku catatannya, ia menulis: “Siapa yang duduk di singgasana tanpa restu rakyat, akan ditelan sepi, meski di sekelilingnya ramai.”
Namun diam Jayengratna bukan tanpa makna. Ia menjadi penghubung rahasia antara para pujangga tua dan gerakan bawah tanah yang menyebar di luar tembok kraton. Melalui sindiran dalam tembang dolanan dan cerita wayang, mereka menanamkan rasa curiga terhadap kekuasaan baru. Cerita tentang Duryudana yang naik takhta dengan bantuan balatentara asing menjadi sindiran halus bagi mereka yang tahu arah cerita sebenarnya.
Sementara itu, Sultan Raja sendiri mulai gelisah. Ia menyadari tahtanya digantungkan pada bayonet Sepehi dan pena Raffles, bukan pada restu leluhur dan kesetiaan rakyat. Ia kerap bermimpi buruk: duduk di atas takhta yang membakar kakinya perlahan. Dalam mimpinya, Sultan Agung datang tanpa suara, hanya menatapnya dengan mata yang tajam, penuh tuding.
Untuk meredakan kekhawatiran, ia mengutus utusan rahasia ke Imogiri. Bukan untuk menakut-nakuti Mangkudiningrat, tapi untuk berunding. Namun para “dalang” dalam Baluwarti menentangnya.
“Tak ada perundingan dengan bayangan masa lalu, Gusti. Yang perlu Paduka lakukan adalah menghapus namanya dari naskah sejarah,” bisik Tumenggung Wangsasaputra saat malam perjamuan. “Biarkan kami yang mengurus.”
Tanpa sepengetahuan Sultan, Wangsasaputra menggerakkan jaringan mata-mata untuk menyusup ke barisan bawah tanah. Beberapa petugas dari Klaten dan Prambanan ditugaskan berpura-pura menjadi pengungsi, menyamar sebagai pedagang keliling, masuk ke dusun-dusun yang mulai menyebut nama Mangkudiningrat dalam bisikan.
Namun para gerilyawan juga punya jaringan. Salah satunya adalah Sindhu, mantan juru tulis keraton yang kini menyamar menjadi penjual tembakau di Pasar Gading. Ia mencatat setiap pergerakan aneh di sekitar Baluwarti dan mengirim laporan lewat daun lontar yang dibungkus dalam bungkus nasi kucing. Dari tangannya, berita itu sampai ke Jayengratna, lalu diteruskan ke kaki Gunung Kidul, ke Mangkudiningrat dan pasukan rakyatnya.
Dalang-dalang bayangan dari Baluwarti bergerak dengan kehalusan, namun gerakan bawah tanah mulai belajar menari di dalam kabut. Mereka tidak melawan dengan tombak, tapi dengan pesan-pesan rahasia yang diselipkan dalam tembang anak-anak, dalam serat yang dibaca para petani saat istirahat mencangkul.
Hari itu, di pendapa kraton, Sultan Raja menerima hadiah dari utusan Inggris: sehelai kain batik bermotif bunga Inggris dan sebuah jam saku berlapis perak. Ia tersenyum datar, lalu memandang jam itu. Waktu terus berjalan, pikirnya. Tapi untuk siapa?
Di luar kraton, langit mulai mendung. Dan dari arah Imogiri, kabar berhembus bahwa pasukan rakyat telah berhasil menggagalkan patroli penjaga pajak dari Inggris di dusun-dusun selatan. Api belum membakar kota, tapi asapnya telah masuk ke celah tembok keraton. (*)
(Bersambung seri ke-5: Lontar yang Tak Selesai dari Jayengratna)