Kesepakatan berdemokrasi akhirnya gagal karena di saat yang sama korupsi menyebar luas, keadilan sosial tak tersentuh, ekonomi tersendat, tingkat pendidikan relatif rendah, kesatuan wilayah negara terancam, dan sekian harapan perjuangan revolusi menemui kebuntuan.
Hal ini meneguhkan jejak historis Indonesia sebagai negara polisi. Suka atau tidak suka, Indonesia mewarisi tradisi asumsi negara polisi. Bukan sekedar penjaga malam dan ketertiban, namun memasuki kedalam alam ketakutan bernegeri. Warisan itu turun dari pemerintah kolonial Belanda dengan polisi rahasianya (reserse intel) dan pemerintah pendudukan militer Jepang dengan keinpetai-nya, bahkan lebih jauh pada era Majapahit yang ambyar karena perang saudara.
Pun Mataram Islam yang mengedepankan penyelesaian militer atau kekerasan pada sejarah suksesinya. Terwujudlah kultur kekerasan dan struktur komando. Titah perintah tak boleh dibantah alias sendiko dawuh mewujud dalam satu kata “siap ” merupakan konkritisasi Manunggaling Kawulo lan Gusti di jajaran birokrasi militer dan sekaligus sipil yang dimiliterisasi.
Persemaian demokrasi liberal menemui kegagalan. Lalu muncul konsep demokrasi dari Soekarno: Demokrasi Terpimpin. Konsep Soekarno ini bertemu dengan kemarahan militer yang bersemangat untuk mengubur partai politik, membubarkan parlemen, dan mematikan demokrasi liberal.
Dimulai dengan kampanye Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 yang sepenuhnya didukung Jenderal AH Nasution. Dengan konsepnya Jalan Tengah, militer tak mau menjadi alat politisi sipil seperti di Eropa Barat, tetapi juga tak berminat menjadi junta militer ala Amerika Latin. Tegasnya, militer tak mau hanya dikerangkeng di barak sebagai kekuatan hankam melainkan juga menginginkan kekuasaan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Di tengah kebuntuan sidang konstituante tentang dasar negara Pancasila versus Islam, begitu juga hasil suara kembali ke UUD 1945 di DPR. Sidang DPR tak berhasil mengumpulkan 2/3 suara, baik yang menolak maupun yang kembali ke UUD 1945. Pihak yang ingin kembali ke UUD 1945 hanya memperoleh 56%; dan sekaligus ingin Pancasila sebagai dasar negara hanya 53,3 %.
Selain DPR dan Konstituante yang terus mencari konsesus dalam perjalan konflik tersebut, dibentuklah Dewan Nasional yang non-partai politik Presiden Soekarno pada Mei 1957 (dibubarkan pada 21 Juli 1959, pasca Dekrit Presiden 5 yang terdiri dari 41 wakil ” golongan karya” baik fungsional maupun urusan daerah)
Jadi tiga struktur penyelenggaraan pemerintahan dan negara dijalani oleh DPR- Ketua Sartono,SH dan Kabinet – Perdana Menteri Djuanda (April 1957- Juli 1959 ) dan Dewan Nasional yang diketuai Presiden Soekarno sendiri.
Menghadapi kebuntuan itu, segera Jenderal Nasution sebagai Penguasa Militer pada Juni 1958 menerbitkan UU Darurat Militer. Ini terjadi semasa Kabinet Karya pimpinan Perdana Menteri Djuanda (mulai 1957-1959).
Pada masa ini pula Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959, mengakhiri nasib Konstituante dan mengembalikan UUD 1945 dengan diktum bahwa Piagam Djakarta merupakan rangkaian kesatuan historis dengan UUD 1945 dan menjiwai UUD 1945. Hal ini sejalan dengan kehendak politik tentara untuk kembali ke UUD 1945 sebagai syarat keberlakuan Jalan Tengah Militer untuk memasuki kekuasaan.
UUD 1945 tidak mensyaratkan keanggotaan DPR dan atau MPR harus dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian bisa ditafsirkan bisa melalui pengangkatan sebagai hak prerogatif Presiden. Kekuasaan membentuk UU untuk menjalankan pemerintahan dan negara berdasar pasal-pasal UUD 1945 ditangan Presiden yang DPR hanya menyatakan persetujuan. Tak ada kepesertaan pemilu legislatif dan Presiden harus dari partai politik saja. Bahkan presiden hanya dipilih oleh MPR yang anggotanya terdiri dari DPR dan utusan golongan. Istilah golongan ditafsirkan sebagai golongan fungsional alias “Golongan Karya”.
Setahun kemudian pada Maret 1960 , akhirnya lengkap sudah produk Pemilu 1955 khususnya DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan, dengan alasan DPR menolak Rancangan APBN dari pemerintah. Padahal menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali itu, DPR tidak bisa dibubarkan. Tapi kenyataannya, Presiden Soekarno membubarkannya, tentu dengan dukungan militer. Lalu diangkatlah seluruh anggota DPR Gotong Royong dalam Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Masyumi dan PSI tak ikut lagi.
Hal ini merupakan hasil pendekatan politis dengan pihak Islam yang dipimpin KH Masykur yang minta jaminan politik kepada pemerintah yang diwakili Perdana Menteri Djuanda. KH Maskur semula ingin mengembalikan UUD 1945 versi Piagam Djakarta, namun Djuanda mengatakan kelak Islam dijamin dengan klausul bahwa Piagam Djakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian konstitusi dengan UUD 1945. Ujungnya rumusan itu menjadi salah satu diktum Dekrit Presiden itu. Timbul pertanyaan akademis, bukankah dekrit itu inkonstitusional dan merupakan kudeta juga?
Periode ini radikalisme memuncak, PRRI/ Permesta meletus, diikuti resolusi PBB yang membahas penyatuan Irian Barat gagal. Setelah itu, pada Oktober 1960 Golkar lahir dengan bidannya Presiden Soekarno didukung tentara. Dwifungsi tentara mulai berfungsi di legislatif Muhammadiyah-pun mulai 1960, mempunyai wakil di DPR GR bersama golongan fungsional lainnya. Tentara mempunyai 35 wakil di DPRGR sejak 25 Juni 1960, pasca Dekrit Presiden 1959.
Menteri-menteri dari Muhammadiyah juga diangkat, antara lain Menteri Sosial Mulyadi Djojomartono dan Menteri Urusan Haji KH Farid Ma’ruf selama Demokrasi Terpimmpin bekerja. Kepolisian Negara dimasukkan menjadi kesatuan ketentaraan/militer dengan sebutan Angkatan Kepolisian R.I ( 1961 ).
Seminar Angkatan Darat 1966 di Bandung merumuskan bahwa ABRI adalah stabilisator dan Dinamisator melengkapi Strategi Perang Gerilya dalam Konsep Hamkamrata yang sebelumnya dipakai sebagai landasan pembentukan Kodam sampai Babinsa seluruh Indonesia, termasuk Hansip.
Ketika Pemilu 1971 sebagai pemilu Orde Baru pertama kali pasca tumbangnya Bung Karno dari kursi Kepala Negara/ Pangti ABRI/ Mandataris MPRS (1967), kemenangan telah berpihak kepada Golkar yang merupakan Kesatuan Politik Komando ABRI, Birokrasi Sipil dan Golongan fungsional lainnya (ormas pemuda, tani, pekerja, dll ).
Seluruh Gubernur di Pulau Jawa diduduki tentara, juga walikota, bupati sampai lurah/ kepala desa. Oleh karena itu, siapapun yang ingin menjadi bupati sebaiknya tidak ke APDN tetapi ke AKABRI. Maka timbullah anekdot : ABRI kok dilawan?
Pada tahun 1967 jumlah DPR dari tentara berjumlah 43 (12%); meningkat menjadi 75 pada 1968 (18 %). Pada pemilu 1971 sebagai fraksi ABRI diberikan jatah 75 kursi. Mulai 1985, kursi Fraksi ABRI membengkak 100 kursi hingga dihapuskannya Fraksi ABRI pada 2004 ketika reformasi bergulir.
Kini reformasi dihentikan dan kekuasaan politik komando akankah dikembalikan? Jawabannya bisa ya bisa juga tidak bergantung bagaimana perspektif historis menganalisisnya. Zaman selalu membawa semangatnya ke depan; bukan kembali ke belakang. (*)