PUSARAN waktu yang berputar cepat, membuat manusia yang hidupnya singkat itu berlomba memperbanyak harta, mengejar karier, memperluas jaringan, membangun rumah, membeli kendaraan, menumpuk tabungan. Sangat sedikit yang merasa bahwa manusia juga butuh mengejar amal di dunia.
Begitulah tabiat manusia modern yang akrab dengan rasa kekurangan. Gaji tidak cukup, usaha sepi, tabungan makin tipis dan sebaginya menyiratkan rasa kekurangan dalam hal harta. Nyaris tak terdengar seseorang berkata, “Saya merasa amal saya kurang.”
Tidak perlu heran. Allah Subḥānahu wa Taʿālā sudah menegaskan bahwa manusia tak akan pernah puas dengan dunia. Sebanyak apa pun dikumpulkan, takkan bisa mengenyangkan hati yang lapar akan dunia. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
الْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ • حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takātsur: 1-2)
Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لابْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا، وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya dia akan mencari lembah ketiga. Dan tidak akan memenuhi perut anak Adam kecuali tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa yang bertaubat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini membongkar hakikat terdalam manusia yang tidak pernah merasa cukup. Meski begitu, Allah memberikan solusi untuk taubat dan mengembalikan kesadaran bahwa hidup ini bukan semata-mata soal menumpuk tapi tentang memperbaiki.
Sayangnya, amal saleh tidak selalu menempati ruang utama dalam kesibukan kita. Saat ada kelebihan rezeki, sering kali langsung dibelanjakan untuk kesenangan pribadi. Sangat sedikit yang mengalir ke jalan Allah. Padahal, amal inilah yang kelak akan menyelamatkan. Bukan saldo rekening, bukan status sosial, dan bukan pula gelar yang disandang.
Allah berfirman:
وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Dan amal-amal kebajikan yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Amal saleh disebut sebagai al-bāqiyāt aṣ-ṣāliḥāt — sesuatu yang abadi. Ketika dunia sirna, amal itu tetap tinggal. Sementara harta, sebagaimana dikatakan dalam satu hadis Nabi ﷺ:
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ: مَالِي مَالِي، وَهَلْ لَكَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ؟
“Anak Adam berkata: Hartaku, hartaku. Padahal, apakah engkau memiliki dari hartamu selain yang kau makan lalu habis, atau yang kau pakai lalu rusak, atau yang kau sedekahkan lalu kekal?” (HR. Muslim)
Betapa jelasnya perbandingan itu. Makanan yang kita makan habis. Pakaian yang kita pakai lusuh. Namun, harta yang kita sedekahkan, justru menjadi milik abadi di sisi Allah.
Saat seseorang meninggal dunia, semua hartanya menjadi milik orang lain. Tapi amalnya, baik yang saleh maupun yang buruk, tetap bersamanya dalam kubur. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ، وَيَبْقَى وَاحِدٌ: يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Tiga hal yang mengikuti mayit: keluarganya, hartanya, dan amalnya. Dua akan kembali (pulang), satu yang tinggal bersamanya: amalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kita hidup seolah-olah dunia ini tujuan. Padahal dunia hanyalah tempat persinggahan. Kita dibekali waktu, tenaga, dan rezeki untuk menanam amal, bukan untuk memperindah halte.
Alangkah indahnya bila kita mulai menggeser paradigma. Jika hari ini kita merasa kekurangan harta, mari tanyakan juga pada diri sendiri: apakah saya juga merasa kekurangan amal? Bila dompet menipis membuat kita gelisah, apakah amal kita yang tipis tidak membuat kita khawatir?
Dalam sebuah atsar dari Hasan al-Bashri, beliau berkata:
يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan hari-hari. Setiap kali satu hari berlalu, maka sebagian dari dirimu ikut berlalu.”
Artinya, waktu yang kita habiskan bukan hanya mengikis umur, tapi juga mengikis peluang beramal. Maka jangan tunggu lapang baru bersyukur, jangan tunggu kaya baru bersedekah, jangan tunggu tua baru bertobat. Sebab tak satu pun dari itu yang dijamin akan datang.
Jadikan rasa kurang sebagai jalan menuju Allah, bukan sekadar keluhan duniawi. Bila kekurangan harta bisa membuat kita lebih tawakal, itu nikmat. Tapi bila kelimpahan harta membuat lalai dari amal, itu musibah.
Mari kita tutup dengan renungan Nabi ﷺ yang lembut tapi dalam:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari)
Pengembara tak menumpuk beban di punggung. Ia hanya membawa yang penting. Maka, dalam hidup ini, bawa amal-amal terbaikmu. Jangan hanya bawa kesibukan dan kecemasan.
Jika selama ini kita selalu merasa kurang harta, mulai hari ini, mari latih diri untuk merasa kurang amal. Sebab, yang akan menemani kita nanti bukan saldo di rekening, tapi amal di catatan. Dan semoga saat itu tiba, kita tidak termasuk orang yang berkata: “Andai saja dulu aku lebih banyak berbuat.” (*)