Jumat, Agustus 1, 2025
No menu items!
spot_img

Babad Sepehi (9): Kabar dari Watu Gilang

Must Read

ANGIN barat membawa aroma tanah basah saat seorang penunggang kuda berhenti di dekat reruntuhan Watu Gilang—sebuah situs kuno yang dipercaya menyimpan jejak-jejak sakral kekuasaan raja-raja Mataram. Di tempat itulah dulu Sultan Agung pernah bertapa sebelum menggempur Batavia. Kini, tempat itu menjadi titik temu rahasia gerakan bawah tanah, dan pagi itu, seorang lelaki dengan ikat kepala kelam turun dari kudanya dan menuruni bebatuan yang diselimuti lumut.

Namanya adalah Kertawirya, bekas prajurit kesayangan HB I yang memilih mengundurkan diri saat HB II naik takhta dan mulai tunduk pada tekanan Belanda dan kini Inggris. Kabar kerusuhan, pembakaran rumah rakyat, hingga penangkapan ulama membuatnya tak bisa lagi tinggal diam.

Di bawah Watu Gilang yang licin, ia disambut lima orang dengan sorot mata penuh tekad. Salah satunya adalah Mertopuro, abdi dalem muda yang malam sebelumnya keluar dari keraton melalui lorong tikus di balik Pawon Srimpi. Ia membawa kabar penting.

“Danurejo IV sudah mengutus pamannya ke Batavia,” bisiknya. “Ada rencana untuk menurunkan Sultan HB II dengan dalih gagal menjaga stabilitas.”

Kertawirya mengepalkan tangan. “Jogja tidak boleh jadi alat mainan para pengkhianat. Kita butuh sandaran moral. Kauman tak cukup kuat jika berdiri sendiri.”

Salah satu yang hadir, seorang kyai tua dari Imogiri bernama Kyai Mahfudz, mengangguk pelan. “Saya sudah berkomunikasi dengan para guru tarekat di wilayah selatan. Mereka siap, tapi tidak dengan pedang. Kita butuh simbol pemersatu. Sesuatu yang bisa menyalakan kembali semangat Mataram, bukan sekadar dendam.”

Kertawirya lalu mengeluarkan kain hitam yang disulam dengan benang emas. Di tengahnya tertera kalimat: Sasanti Maruta. Lambang yang konon pernah dipakai pasukan rahasia Mataram untuk melawan VOC. Kode itu berarti “angin pembebas” dan hanya dikenali oleh lingkaran tertentu.

“Kita akan hidupkan kembali jaringan Sasanti Maruta,” tegas Kertawirya. “Ini bukan semata-mata perang melawan Inggris, tapi perang melawan pengkhianatan di dalam rumah sendiri.”

Sementara itu di Kauman, suasana makin panas. Beberapa santri dan pemuda ditangkap pasukan Sepehi karena dituduh menyimpan pamflet gelap. Di rumah-rumah, kitab kuning mulai disembunyikan. Bahkan surau kecil di ujung pasar terbakar semalam, dan tak ada yang tahu apakah itu ulah Sepehi atau provokator bayaran.

Ustaz Suyuthi, ulama muda pengganti almarhum Kiai Ma’shum yang wafat dalam penyerbuan Sepehi, mulai membangun pengajian berpindah-pindah. Di sawah, di lumbung, bahkan di tengah kebun tembakau. Di setiap pertemuan, ia membacakan tafsir tentang keadilan dan kesabaran, lalu menutup dengan doa agar “kerajaan batil segera runtuh.”

Kabar tentang jaringan Watu Gilang mulai menyebar lirih. Orang-orang tak menyebut nama, hanya menyampaikan pesan dengan potongan ayat atau isyarat tubuh. Mertopuro sendiri harus berpura-pura menjadi pengantar bunga ke makam raja-raja untuk menyampaikan kode kepada juru kunci.

Sementara itu, Sultan HB II semakin terjepit. Ia sadar perpecahan internal di keraton menguat. Banyak bangsawan yang mulai terang-terangan mengeluh. Bahkan permaisurinya sendiri mulai mempertanyakan mengapa istana menjadi tempat pesta para opsir Inggris ketimbang pusat perjuangan rakyat.

Dalam kesendiriannya, HB II mengunjungi Watu Gilang malam-malam, menyamar sebagai musafir. Tapi saat tiba, ia tak menemukan siapa-siapa—hanya secarik kertas yang terselip di bawah batu. Di sana tertulis:

“Yang lemah bukan takhta, tapi keberanian. Jika tak siap memimpin perlawanan, izinkan rakyat memilih jalannya sendiri.”

Pesan itu menyentak batin Sultan. Ia memandang langit yang malam itu tak berbintang, lalu memejamkan mata. Di kejauhan, suara gamelan keraton masih terdengar, tapi di hatinya, suara rakyat sudah lebih nyaring.

Di antara reruntuhan dan intrik, di bawah Watu Gilang yang dingin, rencana besar mulai menetas. Bukan dari istana, bukan pula dari pasukan bersenjata, tapi dari hati yang tak rela harga diri dihancurkan pelan-pelan.

(Bersambung seri ke-10: Api dalam Tembikar Senyap)

Sinta Apriliana Sari Membedah Peran Apoteker di Abad 21

BANDUNG, JAKARTAMU.COM | Sinta Apriliana Sari, apoteker dan konten kreator inspiratif, menyapa peserta seminar nasional di Universitas Muhammadiyah Bandung,...

More Articles Like This