Oleh Lambang Saribuana | Ketua Lazismu DKI Jakarta
SUDAH lebih dari satu abad Muhammadiyah membangun peradaban. Jejak fisik dan digital dengan mudah dapat dilihat, bukan hanya di Indonesia, tapi juga telah mendunia. Jejak pemikiran kader Muhammadiyah pun tak sedikit jumlahnya.
Muhammadiyah adalah pelopor pendidikan modern, kesehatan, juga gerakan sosial keumatan. Namun pertanyaan yang menggantung di benak para kader, khususnya di akar rumput dan belum terjawab hingga hari ini adalah: mengapa Muhammadiyah belum sepenuhnya berdaulat secara ekonomi?
Ada sebuah ironi nyata yang membutuhkan kajian agar dipahami oleh pucuk pimpinan, seperti saya sampaikan dalam tulisan: Bank Syariah Muhammadiyah adalah Kekuatan Ekonomi Umat (Jakartamu.com).
Saya ingin mengungkapkannya dengan beberapa pertanyaan. Sebenarnya, berapa banyak dana Muhammadiyah yang tersimpan di salah satu bank swasta (sebut saja Bank XXX)? Silakan dijawab dengan kepala dingin dan persepsi masing-masing. Saya meyakini dana itu cukup besar, karena ada konsolidasi keuangan masif dari beribu Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya: berapa banyak AUM yang meminjam dana ke Bank XXX tersebut?
Kalau saja ada data yang benar-benar valid, tentu dengan sangat mudah kita dapat menghitung jumlah dana Bank XXX yang digunakan (dipinjam) oleh AUM. Dan di saat yang bersamaan, AUM harus mengembalikan pokok utang serta besaran marginnya (kalau tidak mau menyebutnya sebagai bunga bank).
Artinya apa? Silakan dijawab sendiri-sendiri dengan persepsi masing-masing. Saya haqul yaqin bahwa dana Muhammadiyah milik ribuan amal usaha itu sangat besar. Setiap detik berputar dari satu tangan ke tangan lain, dari satu rekening ke rekening selanjutnya, boleh dikatakan dari satu AUM ke AUM lain juga. Dari situ saja sudah terbaca betapa besarnya cash flow yang berputar. Salahkah kalau banyak orang menyebut angka sampai triliunan rupiah?
Sekali lagi, saya tidak tahu jumlah pastinya, tetapi aliran dananya sangat besar. Sayangnya, dana yang besar itu mengalir lewat lembaga keuangan lain. Bisa bank pelat merah atau bank swasta, bisa bank syariah atau bank konvensional. Tetapi yang pasti, bukan milik Persyarikatan. Sebaliknya, Muhammadiyah dengan senang hati menyerahkan cash flow untuk mereka kelola, cukup dengan sedikit imbalan. Sementara, merekalah penikmat hasil sesungguhnya. Dalam posisi sebagai pengguna, Muhammadiyah hanya bisa berdiri di pinggir arena, menyaksikan permainan orang lain yang menggunakan dananya.
Siapa yang harus mengakhiri ini semua? Tentu bukan kami yang berada di akar rumput. Tapi ayahanda-ayahanda kita, yang telah diberi mandat di arena muktamar. Beliau-beliau itulah yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk itu.
Sebagai kader yang aktif di Lazismu DKI Jakarta, saya memandang fenomena ini dari perspektif amil yang mengelola dana ZIS. Rakernas Lazismu pada 1 Desember 2024 di Yogyakarta menargetkan penghimpunan dana ZIS tahun 2025 sebesar Rp610 miliar, lebih dari setengah triliun. Menurut saya, ini angka penghimpunan yang cukup besar.
Pertanyaan selanjutnya: di mana dana itu disimpan? Bagaimana cash flow-nya? Siapa yang mengendalikan? Siapa yang menikmati? Pernahkah sesekali kita membayangkan bahwa dana itu tersimpan di bank milik Muhammadiyah?
Bila itu terjadi, maka semua rekening Lazismu dari pusat, wilayah, daerah, hingga kantor layanan di seluruh pelosok negeri, akan menggunakan rekening dari bank yang sama. Konsolidasi keuangan menjadi sangat mudah dilakukan. Menggerakkan kekuatan ekonomi riil dari Lazismu bisa dilaksanakan dengan sangat cepat. Hal ini tentu saja mendorong akuntabilitas dan transparansi Lazismu menjadi yang terbaik.
Amil Lazismu akan dengan bangga mengatakan kepada para muzaki, mustahik, relawan, dan mitra: jika ingin bekerja sama dengan Lazismu, salah satu syaratnya adalah harus punya rekening di Bank Syariah Muhammadiyah.
Saatnya kita berhenti berharap pada sistem luar. Bank Syariah Muhammadiyah adalah simbol kemajuan peradaban, tetapi sekaligus alat perjuangan untuk mengubah peradaban itu sendiri. Bank Syariah Muhammadiyah bisa dimulai dari wilayah strategis seperti Jakarta, di mana potensi dan koneksi sangat kuat. Dana CSR, zakat, dan operasional amal usaha harus diarahkan ke sistem kita sendiri.
Kader Muhammadiyah telah membuktikan lebih banyak bekerja ketimbang berbicara. Muhammadiyah akan dicatat sebagai organisasi massa yang tidak hanya menjadi gerakan moral, tapi juga gerakan modal. Dakwah tanpa daya adalah ilusi. Ekonomi tanpa nilai hanyalah kerakusan. Bukankah Muhammadiyah selalu terdepan untuk mengubah peradaban? (*)