JAKARTAMU.COM | Di sebuah ruang rapat sederhana di Banyumas, Brili Agung Zaky Pradika mengusung gagasan yang jarang terdengar di ormas Islam: penerapan blockchain. Bersama APSI, mereka merintis Serikat Blockchain Muhammadiyah untuk memperkuat ekosistem kewirausahaan, memperlancar akses modal anggota, serta mengefisienkan distribusi wakaf melalui koin digital syariah. Menariknya, inisiatif ini tidak hanya soal teknologi, melainkan juga soal menjahit ulang otoritas ekonomi dalam ekosistem Islam.
Berbagai studi menunjukkan bahwa blockchain, sebagai teknologi, memiliki potensi menumbuhkan transparansi, efisiensi, dan taat pada prinsip syariah seperti bebas riba, gharar, dan maysir. Penelitian oleh Muthmainnatun Mufidah Fida dkk. (2025) bahkan menyoroti potensi besar blockchain dan smart contracts dalam pengelolaan keuangan syariah, seperti zakat, sukuk, dan mikrofinansial, asalkan disertai kerangka hukum yang jelas untuk menghindari spekulasi dan ketidakpastian.
Namun, tidak sedikit tantangan yang harus dihadapi. Syukron Jamal (2024) menyebut bahwa protokol seperti Proof of Work (PoW) bisa membenturkan aspek maqasid syariah, terutama keberlanjutan lingkungan, sehingga urgensi beralih ke protokol lebih ramah lingkungan seperti Proof of Stake (PoS) muncul.
Apa Kata Ilmuwan?
Devi Ananda dan Tri Widiarti (2024) mencatat bahwa blockchain berpotensi mendorong inklusi dan akses keuangan syariah dengan memperluas jangkauan layanan, namun regulasi dan sumber daya manusia menjadi kendala serius.
Selaras dengan itu, Fauqah Nuri Aini dan Julina J (2025) menemukan bahwa blockchain dapat meningkatkan akuntabilitas di sektor zakat, wakaf, atau mikrofinansial, tapi tantangan literasi dan kepatuhan syariah masih menghambat implementasi.
Senada, Syahraeni Eni dkk. (2024) menyoroti pentingnya blockchain dalam memperkuat transparansi dan efisiensi dalam asuransi syariah, sekaligus menyoroti investasi awal yang besar dan minimnya tenaga ahli sebagai hambatan utama.
Lebih jauh, Ganjar Santika dan Agus Sahroni (2025) menjelaskan bahwa karakteristik blockchain seperti decentralization, immutability, dan cryptographic security sejalan dengan tujuan moneter Islam seperti kedirian adil dan inklusi. Potensi aplikasi mencakup digitalisasi zakat, wakaf, crowdfunding, hingga sukuk. Namun, masalah seperti volatilitas digital, fatwa yang tersebar, dan skalabilitas masih mengancam realisasi penuh gagasan ini.
Apa yang Maulidia Rohmatul Aini (2024) tegas ungkapkan melalui perspektif MUI dan maqashid syariah: transaksi kripto yang tidak memenuhi syarat halal yakni yang bebas gharar, maysir, dan dharar tidak sah untuk dijadikan alat tukar. Di sinilah letak peran penting inisiatif seperti Serikat Blockchain Muhammadiyah: bukan menolak teknologi, tapi memastikan implementasinya benar-benar bermanfaat dan sesuai syariah. (*)