Oleh: Prof. Dr. Imron Mawardi, S.P., M.Si | Guru Besar Inevestasi dan Keuangan Islam Universitas Airlangga
KRISIS keuangan merupakan fenomena berulang yang akan terus terjadi dengan penyebab yang berbeda-beda, tapi bermuara pada satu titik, yaitu keserakahan. Ini merupakan konsekuensi dari ekonomi neo-liberal yang wujudnya adalah globalisasi, liberalisasi dan finansialisasi.
Berbagai instrument keuangan diciptakan untuk sekedar memberi peluang untuk memperoleh keuntungan, meski tidak memiliki dampak ekonomi riil, sehingga ekonomi menjadi bubble yang sewaktu-waktu bisa meletus.
Jika krisis terjadi, yang pertama-tama terimbas adalah lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan syariah (LKS). Apalagi dalam dual financial and banking system seperti Indonesia, di mana lembaga keuangan syariah berada dalam satu system dengan lembaga keuangan konvensional.
Lembaga keuangan syariah akan menghadapi dampak krisis keuangan, dan sebaliknya kebangkrutan LKS bisa berdampak sistemik terhadap lembaga keuangan lain, bahkan system keuangan.
Agar risiko sistemik itu tidak terjadi, maka LKS perlu memiliki suatu deteksi dini untuk mengetahui potensi kebangkrutan yang dikenal sebagai early warning system (EWS).
Pada tingkat makro, EWS menggunakan sensitivitas perubahan variabel makro untuk mendeteksi potensi jatuhnya industry keuangan seperti pertumbuhan ekonomi, kurs, utang pemerintah dan swasta, neraca perdagangan, suku bunga, kurs, dan fluktuasi harga komoditas.
Pada bank syariah, EWS mengukur potensi kebangkrutan dengan menghitung skor standar (z-score) suatu nilai tertentu yang merupakan kombinasi dari kinerja keuangan, seperti modal kerja, laba ditahan, laba sebelum bunga dan pajak, nilai pasar ekuitas, nilai pasar utang, dan aset.
Skor standar di bawah threshold tertentu mengindikasikan bank syariah akan mengalami bangkrut.
Pada bank syariah, proporsi pembiayaan uncertainty contract (mudharabah dan musyarakah) sampai batas tertentu menjadikan bank lebih tahan terhadap goncangan di masa krisis sehingga lebih aman terhadap ancaman kebangkrutan.
Dengan demikian, bank syariah perlu membentuk portofolio pembiayaanya dengan proporsi ideal pembiayaan berbasis uncertainty contract lebih tinggi daripada certainty contrac dengan akad murabahah, istishna’, atau ijarah.
Pada asuransi syariah (takaful), EWS perlu dibuat agar peristiwa seperti pada Asuransi Jiwasraya dan Asabri tidak terjadi. Pada takaful, dana tabarru’ yang terpisah dari dana perusahaan harus diukur sensitivitasnya terhadap risiko deficit underwriting.
Sementara perusahaan asuransi syariah bisa mendeteksi potensi bangkrutnya melalui pengukuran skor standar (z-score) dari kinerja keuangannya. Bukan hanya didasarkan pada risk base capital (RBC)-nya.
EWS pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) mirip bank dengan kekhasan tertentu. Beberapa penelitian menggunakan pendekatan logit untuk mendeteksi sinyal dini, tetapi terdapat kelemahan struktural yang signifikan, seperti ketiadaan Lender of Last Resort (LoLR) dan sistem penjaminan simpanan.
Dengan aset, modal, dan diversifikasi yang lebih kecil, LKMS memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan bank. Oleh karena itu, pengembangan EWS pada LKMS menjadi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan stabilitas dan kepercayaan LKMS, khususnya ketika terjadi guncangan dalam industri.