Oleh Imam Shamsi Ali | Direktur Jamaica Muslim Center, New York
TANGGAL 4 Juli adalah Hari Kemerdekaan Amerika Serikat. Hari ini dikenal dengan dua sebutan, Independence Day dan Fourth of July. Keduanya menandai sama-sama peringatan kemerdekaan Amerika Serikat dari penjajahan Kerajaan Inggris. Meski tidak seheboh perayaan di beberapa negara lain, peringatan ini sangat penting bagi bangsa Amerika.
Fourth of July umumnya diperingati dengan pertunjukan kembang api, seperti Macy’s Fireworks di Kota New York yang fenomenal. Di luar kota besar, orang-orang merayakannya dengan acara barbeku bersama keluarga dan teman. Kami sendiri lebih memilih tinggal di rumah, menonton pertunjukan kembang api di televisi sambil menikmati santapan santai bersama anak-anak.
Saya pribadi lebih tertarik memperingatinya dengan refleksi dan perenungan atas makna kemerdekaan dalam konteks keagamaan maupun kebangsaan, secara pribadi atau kolektif, baik Amerika Serikat sebagai negara adopsi (adopted country), maupun Indonesia sebagai negara kelahiran (country of birth) pada 17 Agustus bulan depan.
Kemerdekaan adalah Tuntutan Dasar Setiap Orang
Dari berbagai perenungan itu, saya menyimpulkan bahwa kemerdekaan dan kebebasan sejatinya adalah tuntutan dasar semua manusia dan bangsa. Oleh karena itu, sangat wajar jika kemerdekaan dianggap sebagai hak asasi yang paling mendasar.
Jika kembali pada pandangan keagamaan, dalam hal ini Islam, kita diingatkan pada sejarah panjang umat manusia. Bahkan sebelum Nabi Adam diciptakan, malaikat—yang dikenal tidak memiliki kecenderungan bebas—diberi hak untuk bertanya mengenai keputusan Allah menciptakan manusia. Pertanyaan para malaikat kepada Allah itu dapat dimaknai sebagai bentuk kebebasan berekspresi (freedom of expression) yang diberikan oleh Tuhan sendiri.
Karenanya, saat seorang Muslim mendeklarasikan keimanan pada kalimat tauhid, sesungguhnya itu adalah deklarasi pembebasan (salvation) dan kebebasan (freedom). Dengan kalimat laa ilaaha illallaah, seorang Muslim membebaskan diri dari segala bentuk perbudakan dan penyembahan, kecuali kepada Sang Pencipta langit dan bumi. Maka, tauhid menjadi fondasi utama dari segala bentuk kemerdekaan manusia. Tak heran jika kemusyrikan dianggap sebagai kezaliman terbesar dalam ajaran Islam.
Di titik inilah, Islam secara universal menjamin kemerdekaan setiap individu dalam menjalani hidupnya. Islam adalah agama yang memberi petunjuk (hidayah), bukan agama paksaan (laa ikraaha). Pada akhirnya, setiap orang bebas memilih—bahkan untuk beriman atau mengingkari. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Maka barang siapa yang menghendaki, hendaklah beriman. Dan barang siapa yang menghendaki, silakan mengingkari.”
Sejarah panjang Islam membuktikan bahwa penyebarannya di berbagai tempat selalu dilakukan melalui dakwah dan pendidikan, bukan kekuatan militer—kecuali untuk membela diri, dan pastinya bukan dengan paksaan. Indonesia mungkin adalah contoh paling membanggakan: Islam datang ke Nusantara secara damai melalui interaksi sosial dan perdagangan oleh para saudagar dari Yaman dan Gujarat.
Bahkan saat ini, Islam berkembang pesat di dunia Barat dan wilayah lainnya—termasuk Amerika Latin, Jepang, dan Korea—bukan dengan pedang dan paksaan, melainkan melalui dakwah, pendidikan, dan pergaulan sosial. Maka, secara prinsip, Islam menjunjung tinggi kebebasan. Tuduhan bahwa Islam mengekang kebebasan adalah tidak berdasar—atau mungkin lahir dari kesalahpahaman terhadap praktik sebagian pemeluknya.
Kebebasan adalah Nilai Amerika (American Value)
Amerika sejatinya dikenal sebagai land of the free and home of the brave—tanah kebebasan dan rumah bagi mereka yang berani. Kebebasan menjadi identitas paling penting bangsa Amerika, dan secara umum menjadi jaminan konstitusional bagi warganya. Meski tidak sempurna, Amerika memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat—meskipun sesekali ada upaya pembungkaman.
Warga Amerika Serikat masih bebas menyuarakan opini, bahkan mengkritik kebijakan presiden. Walaupun kritik itu sering diabaikan atau ditangkis, negara ini tidak serta-merta menangkap, memenjarakan, apalagi menghilangkan warganya seperti terjadi di beberapa negara lain.
Pada 2019, ketika Donald Trump menerapkan kebijakan “Muslim Ban”, pelarangan masuknya warga Muslim ke Amerika, kami menggelar demonstrasi besar-besaran di New York. Meski saya menjadi ketua pelaksananya, inisiatif aksi justru datang dari para pemimpin non-Muslim. Mayoritas peserta demonstrasi juga non-Muslim. Motonya adalah “Today I Am a Muslim Too”. Kami ingin menyampaikan bahwa jika Muslim dilarang masuk Amerika, maka semua orang seakan dilarang masuk.
Itu hanyalah salah satu contoh bahwa kebebasan masih dijunjung di Amerika, dengan segala kekurangannya. Komunitas Muslim di sini tetap bebas menjalankan ajarannya, mendirikan masjid dan sekolah Islam tanpa rasa takut atau tekanan.
Namun, ada satu hal yang disayangkan: ketika berbicara tentang kebebasan, Amerika justru terbelenggu oleh satu negara kecil yang diposisikan sangat terhormat—bahkan lebih terhormat daripada Amerika sendiri. Mengkritik negara itu dianggap kejahatan, sementara mengkritik Amerika dianggap ekspresi kebebasan. Negara itu adalah Israel.
Posisi Amerika ini, tanpa disadari, merupakan bentuk “penjajahan balik”. Akibatnya, logika dan akal sehat Amerika lumpuh. Di satu sisi, Amerika menjunjung tinggi kemerdekaan. Tapi di sisi lain, saat kemerdekaan itu dituntut oleh bangsa Palestina, Amerika bersikap masa bodoh. Keadaan ini menciptakan wajah ganda yang munafik.
Semoga peringatan kemerdekaan kali ini dapat menyadarkan bahwa kebebasan dan kemerdekaan adalah hak semua bangsa. Dan karena itu, segala bentuk penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Di abad ini, penjajahan Israel atas Palestina harus segera diakhiri. Jika tidak, peringatan Fourth of July akan terasa hambar dan kehilangan makna. (*)