Rabu, Juli 9, 2025
No menu items!

”No Pork No Lard”,  Sudah Cukup Jamin Kehalalan?

Must Read

TREN slogan “No Pork, No Lard” makin menjamur di restoran dan produk kuliner. Sepintas ungkapan ini memberi kesan ramah syariah. Tujuannya jelas: menggaet konsumen muslim. Tapi apakah slogan ini menjamin makanan yang dijual sebuah restoran benar-benar halal?

Salah Kaprah yang Perlu Diluruskan

Menganggap bahwa kehalalan makanan hanya bergantung pada ketiadaan babi dan lemak babi adalah simplifikasi pemahaman yang menyesatkan dan merugikan umat. Dalam perspektif Islam, konsep halal mencakup spektrum yang jauh lebih luas. Ia menyentuh berbagai aspek mulai bahan, proses, dan prinsip syariah. Kehalalan tidak cukup dilihat dari satu sisi semata, melainkan harus dipastikan melalui telaah menyeluruh terhadap kandungan dan cara pengolahan makanan.

Di antara komponen yang berpotensi menyebabkan makanan menjadi haram adalah penggunaan hewan yang memang dilarang untuk dikonsumsi. Anjing, kucing, dan hewan buas bertaring, termasuk unggas bercakar. Bahkan, daging hewan yang secara jenis halal tetap menjadi haram jika tidak disembelih sesuai syariat.

Selain itu, produk turunan hewan seperti gelatin, kolagen, dan enzim yang berasal dari sumber tidak jelas atau non-halal. Penggunaan alkohol dalam masakan, baik sebagai bahan utama maupun pelengkap, juga termasuk yang diharamkan.

Yang tak kalah penting, kontaminasi silang di dapur, seperti alat masak yang bercampur dengan bahan non-halal, dapat menggugurkan status halal suatu hidangan meskipun bahan utamanya aman.

Antara Branding Bisnis dan Ketidakjujuran Etika

Bila dilihat begitu luasnya, syarat makanan atau minuman disebut halal, bisa disebut No Pork, No Lard adalah pernyataan yang ambigu. Jika makanan benar-benar tersebut halal, kenapa tidak berani menyatakan tegas: halal? Apa yang menghalangi restoran mencantumkan logo MUI? Tanpa sertifikasi halal resmi dari MUI atau lembaga berwenang, klaim No Pork, No Lard hanya ilusi yang justru menyesatkan konsumen muslim.

Maka dari itu, tidak salah kalau menyebut slogan itu lebih bertendensi strategi bisnis agar diterima semua kalangan, terutama masyarakat muslim, pasar terbesar di Indonesia. Atau, bisa juga slogan itu dipasang karena memang belum atau tidak sanggup memenuhi standar halal yang ketat. Tapi menutupinya dengan jargon ambigu bukanlah solusi etis, melainkan manipulasi kepercayaan.

Mengedukasi Konsumen Muslim

Nah, sebagai bagian dari masyarakat muslim yang menjunjung nilai Islam, ada kewajiban moral agar pemahaman tentang halal dipahami secara benar. Untuk itu, edukasi soal halal mesti diperluas, terutama tentang jenis hewan dan cara pengolahan. Pelaku usaha kuliner pun perlu menunjukkan komitmen penuh, bukan hanya mencari aman sembari diam-diam mengeruk keuntungan. Kejujuran dan transparansi jauh lebih penting dari branding.

No Pork, No Lard harus dipahami sebagai slogan loncatan menuju kejelasan halal. Sebab halal bukan hanya soal apa yang tak dimakan, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga amanah konsumsi yang berkah. (*)

Indonesia Darurat Sampah, BRIN Gagas Gerakan Inovasi dari Hulu ke Hilir

JAKARTAMU.COM | Indonesia kini berada dalam situasi darurat sampah. Setiap hari, sekitar 190 ribu ton sampah dihasilkan di seluruh...

More Articles Like This