YOGYAKARTA, JAKARTAMU.COM | Penanganan kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dinilai belum sepenuhnya menjunjung keadilan prosedural dan etika institusional. Hal ini disampaikan Forum Kajian Penegakan Etika Lintas Perguruan Tinggi melalui sebuah rilis yang diterima redaksi Jakartamu.com, Jumat (2/5/2025).
Forum yang beranggotakan sejumlah dosen lintas universitas ini secara khusus mengkaji penanganan kasus yang menimpa Prof. Dr. apt. Edy Meiyanto, M.Si., seorang Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam kajiannya, mereka menilai ada sejumlah persoalan mendalam yang mencuat dari kasus, mulai ketidakjelasan prosedur etik hingga potensi bias dalam pemberitaan media.
“Penanganan kasus seperti ini memerlukan kepekaan tinggi karena yang dipertaruhkan bukan hanya perlindungan terhadap korban, tetapi juga keadilan prosedural dan marwah institusi akademik,” kata anggota forum yang juga dosen UGM, Ana Nadya Abrar.
Menurut Ana, langkah forum tersebut dituangkan dalam Buku Putih berjudul Tinjauan Budaya, Akademik, dan Yuridis terhadap Kasus EM. Buku ini menjadi refleksi multidisipliner atas persoalan etik, budaya media, dan tata kelola penyelesaian dugaan pelanggaran etik di kampus.
“Buku Putih ini bukan pembelaan personal terhadap Prof. EM, melainkan pembelaan terhadap prinsip dasar dunia akademik: objektivitas ilmiah, budaya beretika, serta keadilan prosedural,” tegas Ana.
Forum menyoroti bagaimana proses etik yang dijalankan tidak memperhatikan prinsip “audi et alteram partem”, sebuah prinsip hukum yang menekankan pentingnya mendengar kedua belah pihak secara adil. Mereka juga mengkritik potensi trial by media yang bisa merusak reputasi dan mengganggu integritas proses penyelesaian.
Dalam dokumen tersebut, Forum juga mengungkap adanya kelemahan dalam kerahasiaan data pemeriksaan serta ketidakjelasan kategorisasi antara pelanggaran etik, kekerasan seksual, dan pelanggaran moralitas umum. Tidak adanya kewajiban menyampaikan hasil investigasi kepada terlapor serta ketidakhadiran sidang terbuka turut menjadi sorotan.
Forum menilai penanganan yang tidak transparan justru menimbulkan risiko reputasi lebih besar bagi institusi. “Kami melihat perlunya kejelasan normatif dan prosedur yang adil agar marwah akademik tetap terjaga,” kata Ana.
Selain menyoroti kelemahan regulasi internal, forum tersebut juga mengkritik praktik media yang dinilai tidak cukup etis dalam mengabarkan kasus-kasus kekerasan seksual. Mereka menekankan pentingnya jurnalisme yang etis dan bertanggung jawab serta kembali pada Kode Etik Jurnalistik sebagai landasan moral dalam pemberitaan.
Forum juga menyarankan agar UGM dan institusi lainnya melakukan audit etik dan merumuskan standardisasi kategori pelanggaran untuk menghindari kekacauan interpretasi. “Etik akademik seharusnya menjadi penjaga keadilan, bukan alat represi moral,” pungkas Ana.