JAKARTAMU.COM | Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah menyampaikan 12 rekomendasi strategis terhadap revisi Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PMI). Hal itu disampaikan dalam Diskusi Publik bertajuk “Rancangan Undang-Undang PMI: Mewujudkan Pekerja Migran yang Berkemakmuran dan Berkeadilan” di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (11/7/2025).
Rekomendasi tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari penguatan perlindungan hukum, perbaikan proses rekrutmen dan penempatan, hingga usulan pasal baru untuk memperluas partisipasi masyarakat sipil. Di antara poin penting yang diajukan adalah mekanisme pengampunan bagi pekerja migran non-prosedural, serta peningkatan peran pemerintah daerah dalam memperluas akses kerja dan pelindungan terhadap PMI.
Ketua MPM PP Muhammadiyah, M. Nurul Yamin, menyatakan bahwa revisi UU ini semestinya tidak hanya menyesuaikan regulasi, tetapi juga menjadi momentum memperkuat kehadiran negara dalam menjamin hak-hak pekerja migran.
Yamin menegaskan bahwa pekerja migran tidak boleh hanya dipandang sebagai objek ekonomi global. Sebaliknya mereka adalah subjek kemanusiaan yang memiliki hak, martabat, dan potensi pemberdayaan. MPM menilai, selama ini perlindungan bagi PMI belum menyentuh fase sebelum keberangkatan hingga pasca-kepulangan secara utuh.
“Banyak purna PMI yang kembali ke kampung halaman tanpa bekal keterampilan, lalu jatuh dalam kemiskinan baru. RUU ini harus menjawab persoalan itu,” tegas Yamin.
Melalui program seperti Desa Migran Berkemajuan, Muhammadiyah telah menunjukkan peran masyarakat sipil dalam pendampingan dan pemberdayaan PMI secara konkret. Karena itu, salah satu rekomendasi utama yang diajukan adalah penambahan pasal tentang partisipasi masyarakat dalam sistem perlindungan pekerja migran.
“RUU ini tidak boleh hanya memperluas ruang bagi swasta. Negara dan masyarakat sipil harus diberi porsi lebih besar dalam sistem pelindungan PMI yang adil dan bermartabat,” tegas Yamin.
Diskusi yang digelar MPM bekerja sama dengan SaranMu (Sahabat Migran Berkemajuan) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah itu juga menghadirkan perwakilan dari Badan Legislasi DPR RI, akademisi Universitas Ahmad Dahlan (UAD), serta pejabat dari Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan memaparkan empat isu yang menjadi fokus revisi yaitu lemahnya sistem perlindungan, tingginya jumlah PMI non-prosedural, urgensi penguatan sistem informasi, dan transisi kewenangan kelembagaan ke Kementerian Perlindungan PMI yang baru dibentuk. RUU ini merupakan prioritas ke-21 dalam Prolegnas 2025 dan akan memuat 44 poin perubahan signifikan untuk memperkuat aspek hukum, sosial, dan ekonomi PMI, termasuk melindungi kelompok rentan seperti pekerja magang dan awak kapal.
Sementara Kepala Biro Hukum KP2MI, Wahyudi Putra, dalam kesempatan tersebut menyoroti bahwa revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 belum secara utuh mengakomodasi isu penting terkait pemagangan atau pelatihan kerja di luar negeri. Menurutnya, program magang yang saat ini berjalan justru berpotensi melemahkan hak-hak pekerja migran.
“Penghasilan peserta magang tidak sebanding dengan pekerja sektor formal. Skema ini juga membuka ruang eksploitasi karena belum ada perlindungan yang memadai,” ujar Wahyudi.
Ia menjelaskan bahwa salah satu kendala yang dihadapi adalah belum sinkronnya regulasi antara UU Ketenagakerjaan dan UU Pelindungan Pekerja Migran. Akibatnya, aspek pemagangan dan pelatihan di luar negeri belum dapat diatur secara menyeluruh dalam RUU tersebut.
Wahyudi juga mengungkapkan bahwa KP2MI saat ini masih memiliki keterbatasan kewenangan dalam melakukan pembinaan terhadap lembaga vokasi. Padahal, menurutnya, peningkatan kompetensi calon pekerja migran merupakan titik awal penting dalam penempatan yang aman dan bermartabat.
“Kalau lembaga vokasi tidak terkelola dengan baik, kita sulit memastikan bahwa calon PMI benar-benar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di luar negeri,” katanya.
Selain isu pemagangan, KP2MI juga mendorong agar RUU ini dapat mencakup upaya pembinaan terhadap lembaga pelatihan kerja dan perbaikan sistem pendataan remitansi. Menurut Wahyudi, penting bagi negara untuk mengetahui secara akurat nilai remitansi dari para pekerja migran agar dapat dikalkulasi sebagai bagian dari kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. (*)