ADA pagi yang tak menyambut dengan cahaya, hanya dingin yang menggulung dari sela-sela jendela. Seperti pagi itu. Matahari seolah enggan menampakkan dirinya, seperti aku yang tak lagi tahu ke mana harus menyandarkan pulang.
Kupandangi kamar yang pintunya masih setengah terbuka. Kau masih terlelap, atau berpura-pura tidur. Aku tak tahu. Aku pun tak ingin tahu.
Di meja ruang tamu, cincin itu masih tergeletak seperti kemarin malam: kecil, mengilap, tapi kini tak berarti. Sebuah simbol yang dulu mengikat, kini hanya sisa dari ikatan yang sudah terputus jauh sebelum kulepas secara lahir.
Kubungkus perlahan cincin itu dengan selembar kain tipis. Kumasukkan ke dalam laci lemari kecil yang dulu biasa kita pakai untuk menyimpan undangan, amplop sumbangan, dan catatan belanja. Di antara benda-benda remeh itulah, kini tersimpan penanda akhir dari rumah tangga yang pernah kita bangun dengan cinta dan cita.
Aku tak berniat pergi hari itu. Tapi aku juga tak lagi merasa pulang.
Kau keluar kamar setengah jam kemudian. Rambutmu masih basah, wangi sabun tercium samar, tapi bukan aroma yang dulu kukenali sebagai milik kita. Kini semuanya terasa asing—seperti mencium parfum seseorang yang pernah dicintai tapi telah berubah menjadi orang asing.
Pandanganmu menangkap meja yang kosong. Tak ada sarapan. Tak ada cangkir teh. Tak ada aku yang sibuk menyendokkan bubur ke mangkuk seperti biasanya.
Kau diam sejenak, lalu berkata pelan, “Kamu nggak buat sarapan?”
Aku menoleh, menatapmu sejenak, lalu menjawab, “Aku tak tahu harus menyambut siapa lagi di rumah ini.”
Kau terdiam. Sorot matamu mencari sesuatu di wajahku, tapi tak menemukannya. Barangkali kau mencari sisa cinta yang dulu. Atau setidaknya kemarahan. Tapi aku sudah kehilangan keduanya.
“Aku pergi ke rumah Ibu sore nanti,” ujarku.
“Sendiri?” tanyamu.
“Ya,” jawabku singkat.
Lalu senyap. Tak ada tanya lanjut. Tak ada keberatan. Tak ada tawaran ikut, bahkan sekadar basa-basi. Dan dari situlah aku tahu, rumah ini tak lagi tempat kita saling memanggil pulang.
Siang berlalu dengan pelan. Aku membereskan lemari, bukan untuk mengemasi barang, tapi untuk menertibkan sisa hidup. Baju-baju lama yang sudah lama tak terpakai, catatan resep yang tak lagi kucoba, dan sepatu sandal yang sempat kita beli bersama di Pasar Minggu, saat masih tertawa karena salah ukuran.
Di sela tumpukan pakaian, aku menemukan sehelai saputangan lusuh. Di sudutnya ada inisial kecil yang kau sulam sendiri bertahun lalu. Aku tak tahu harus apa dengan benda itu. Ia membawa kenangan, tapi juga luka. Dan aku belum siap membuangnya, meski aku juga tak ingin menyimpannya.
Aku duduk di tepi ranjang. Rumah ini pernah menjadi tempat paling aman, tempat paling nyaman. Tapi sekarang, rumah ini tak lagi berarti ‘pulang’. Ia hanya struktur. Dinding, lantai, atap, dan kamar yang kehilangan makna.
Aku berjalan ke kamar anak kita, yang kini kosong karena sekolah asrama. Kuintip meja belajarnya, boneka kecil yang masih berdiri tegak di atas rak, dan coretan tangan kecil di dinding: “I love you Ayah Ibu.”
Tanganku menyentuh tulisan itu pelan. Ada denyut di dadaku. Perih dan rindu bercampur jadi satu.
Saat sore menjelang, aku bersiap. Mengenakan kerudung, merapikan tas, memastikan pintu kamar terkunci. Aku tak membawa banyak. Hanya pakaian ganti, dan satu buku catatan yang telah lama menjadi tempat pelarianku.
Kau sedang duduk di ruang tengah saat aku melintas. Kau menoleh, menatapku dengan mata yang kali ini menyimpan sesuatu mungkin kehilangan, mungkin kebingungan, mungkin keterlambatan.
“Kau benar-benar pergi?” tanyamu.
Aku berdiri di ambang pintu, menatapmu tanpa gemetar. “Aku tak pergi. Aku hanya menepi. Karena rumah tak lagi jadi tempat untuk pulang kalau kita saling tak hadir.”
Kalimat itu seperti angin yang mengaduk debu. Tidak keras. Tapi meninggalkan pengap.
Kau hendak berkata sesuatu, tapi bibirmu ragu. Dan aku tak menunggu. Aku melangkah ke luar, menutup pintu perlahan. Bukan membanting. Bukan dengan dendam. Tapi dengan kelegaan yang tak bisa diucapkan.
Langkahku menyusuri halaman kecil. Hujan semalam meninggalkan genangan. Kubayangkan genangan itu seperti air mata yang tak pernah keluar diam, tapi menggenangi.
Dan saat aku menoleh sebentar ke arah rumah, tak ada siapa pun di jendela. Tak ada tatapan yang mengantar. Tak ada sorot mata yang menahan.
Dan barangkali memang begitulah saat rumah tak lagi menjadi ‘pulang’.
(Bersambung seri ke-14: Ruang Tunggu yang Tak Bernama)