JAKARTAMU.COM | Sutradara, penulis skenario, dan produser film Garin Nugroho menyampaikan Pidato Kebudayaan bertajuk “Balas Budi untuk Rakyat” di Taman Ismail Marzuki, pada Jakarta 10 November lalu. Saat menutup pidatonya Garin mengingatkan bahwa keadilan selalu menjadi kekuatan yang tak terbendung.
Dia mengingatkan, rakyat Indonesia adalah rakyat yang unggul, toleran, dan tangguh dalam menghadapi berbagai bentuk kekuasaan dan ketimpangan.
Mereka telah menunjukkan keuletan luar biasa dengan berbagai cara, termasuk melalui kreativitas seperti meme yang penuh makna untuk menanggapi situasi terkini.
BACA JUGA: Garin Nugroho: Ini Sebuah Ilustrasi Kepemimpinan Bangsa yang Kalah
“Bahkan dalam situasi krisis ekonomi, rakyatlah yang seringkali menjadi penopang utama perekonomian negara,” ujarnya.
Begitu pula dalam pemilu, mereka selalu memberikan dukungan penuh meski dihadapkan pada berbagai kecurangan dan manipulasi.
Rakyat telah banyak berkorban untuk memilih dan menaruh kepercayaan pada wakil-wakilnya di pemerintahan.
Kini, Garin mengingatkan, saatnya bagi pemerintahan Presiden Prabowo dan kabinetnya untuk membalas kepercayaan tersebut dengan berbagai strategi kebudayaan yang berpihak kepada rakyat.
Nilai kebudayaan yang paling penting adalah rasa keadilan.
Sepanjang sejarah, keadilan selalu menjadi kekuatan yang tak terbendung. Kekuasaan, manipulasi, dan propaganda mungkin dapat menundukkan keadilan untuk sementara waktu, tetapi pada akhirnya, keadilan akan selalu menemukan jalannya.
BACA JUGA: Garin Nugroho: Politik Bukanlah Panggung Drama
Keadilan akan hidup di hati rakyat dan melawan segala bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh kekuasaan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sudah saatnya kita membalas budi kepada rakyat.
Tentang Garin Nugroho
Garin lahir pada 6 Juni 1961. Ia memulai karier sebagai pembuat film pada 1981, menyutradarai film pendek dan dokumenter.
Garin lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada 1985 dengan gelar film dan kemudian memperoleh gelar hukum dari Universitas Indonesia pada 1992.
Lahir dari keluarga seniman, ayahnya adalah seorang penerbit dan penulis, kakak laki-lakinya, Hendrawan Riyanto, adalah seorang perupa kontemporer di eranya, dan putri sulungnya, Kamila Andini, adalah seorang sutradara berprestasi.
BACA JUGA: Garin Nugroho Sebut 10 Tahun Jokowi Hanya sebagai Mandor
Garin Nugroho, sosok penting dalam sinema Asia Tenggara, telah menggunakan film untuk mengungkap kompleksitas masyarakat Indonesia. Sebagai pelopor gerakan film Indonesia pasca-1990, ia menghidupkan kembali industri film selama krisis ekonomi 1998.
Film-filmnya, seperti Cinta Dalam Sepotong Roti (1991), Surat untuk Bidadari (1994), dan Bulan Tertusuk Ilalang (1995), telah mendapatkan pengakuan internasional di festival-festival film bergengsi.
Film-filmnya telah memikat baik penonton nasional maupun internasional, menginspirasi generasi baru pembuat film Indonesia.
Karyanya, Daun di Atas Bantal (1998) dan Serambi (2005), keduanya dinominasikan untuk Un Certain Regard di Festival Film Cannes.
Garin juga menciptakan Opera Jawa (2006) untuk perayaan 250 tahun Mozart oleh pemerintah Austria. Eksplorasi artistik Garin Nugroho tidak hanya terbatas pada film, tetapi juga mencakup seni pertunjukan, tari, dan seni visual.
Instalasi seninya telah dipamerkan di galeri-galeri bergengsi di seluruh dunia, termasuk Haus der Kunst di Munich, Jerman, dan Trans Figurations Mythologies Indonesiennes, Pameran Louis Vuitton di Paris.
Eksplorasi pada film pun beragam, melalui film bisu Setan Jawa (2017) dengan komposisi musik yang dimainkan oleh orkestra terkenal seperti Melbourne Symphony Orchestra, Netherlands Chamber Orchestra, dan Berlin Radio Symphony Orchestra.
Film bisu terbarunya, Samsara (2024), telah diputar di Esplanade, Singapura, dan Festival Indonesia Bertutur di Bali, dengan rencana pemutaran di berbagai venue internasional seperti Arts Centre Melbourne.
BACA JUGA: Garin Nugroho: 10 Tahun Kita Diperlakukan sebagai Warganet, Bukan Warga Negara
Ia juga menjadi juri di berbagai festival film bergengsi seperti La Biennale Venice – Orizzonti, Busan International Film Festival, Tokyo Film Festival, Dubai Film Festival, dan Kolkata International Film Festival.
Selain kegiatan artistiknya, Garin Nugroho juga telah menulis beberapa buku non-fiksi, termasuk Kekuasaan dan Hiburan (1998), Seni Merayu Massa (2005), dan Negara Melodrama (2019), yang mengeksplorasi isu-isu sosial dan politik.
Selain itu, ia aktif terlibat dalam isu-isu sosial dan politik, lewat program “Visi Anak Bangsa” dan menjadi koordinator media NGO selama krisis ekonomi 1998 dan tsunami Aceh 2006. Garin Nugroho terus membina generasi baru film melalui lokakarya dan festival film di seluruh Indonesia.
Ia mendirikan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), yang telah menginspirasi gelombang baru pembuat film di Yogyakarta dan menjadikan Jogja sebagai kota film yang berkembang.
Baca juga: Garin Nugroho: 10 Tahun Kita Diperlakukan sebagai Warganet, Bukan Warga Negara