PANDANGAN Prof. Dr. Din Syamsuddin tentang “gedung-gedung menjulang, umat Islam tenggelam” patut direnungkan. Dalam pengajian yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jakarta, Sabtu (5/7), Din menyoroti fakta ironis: umat Islam, meski mayoritas, masih belum menjadi pemain utama dalam perekonomian nasional.
Sorotan Din berangkat dari pemandangan malam Jakarta: jajaran gedung-gedung pencakar langit yang gemerlap, yang sebagian besar dimiliki oleh kelompok lain. “Adakah gedung megah itu milik orang Islam? Adakah yang milik warga Muhammadiyah?” tanyanya.
Pertanyaan itu, sejatinya adalah cermin kegagalan kolektif kita membangun kemandirian ekonomi umat. Umat Islam, termasuk organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah, sudah lama unggul di bidang pendidikan, kesehatan, dan dakwah. Tetapi pada sektor ekonomi modern dan penguasaan aset strategis, kontribusinya jauh dari memadai.
Ironi ini tidak sekadar soal simbolisme gedung-gedung jangkung di Jakarta. Lebih jauh, ini soal mentalitas. Din mengingatkan bahwa umat masih terlalu nyaman di zona aman, enggan mengambil risiko, malas bermimpi besar, dan kurang percaya diri untuk bersaing dalam dunia usaha dan bisnis.
Padahal, dalam ajaran Islam sendiri, berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) tidak hanya berlaku dalam urusan ibadah, tetapi juga dalam prestasi ekonomi, inovasi, dan kemajuan peradaban. Mestinya umat Islam tidak hanya jadi penonton di tengah gemerlapnya pembangunan, tetapi juga jadi pemain yang menentukan arah permainan.
Kita mendukung seruan Din Syamsuddin agar umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, berani bermimpi lebih tinggi. Keberanian untuk keluar dari zona nyaman, kreativitas, dan etos kerja keras harus kembali dipupuk.
Namun kita juga ingin mengingatkan: kritik Din bukan hanya untuk Muhammadiyah, tetapi untuk seluruh umat. Organisasi, pemerintah, dan pelaku usaha yang berasal dari komunitas Muslim harus berhenti saling menyalahkan dan mulai membangun ekosistem yang sehat: akses permodalan, pendidikan kewirausahaan, jaringan pasar, hingga kepercayaan diri.
Gedung-gedung tinggi yang menjulang itu seharusnya bukan sekadar latar belakang pemandangan malam yang membuat kita mengelus dada. Sudah saatnya umat Islam bangkit, menjulang bersama gedung-gedung itu. Bukan untuk sekadar gagah-gagahan, tetapi untuk menunjukkan bahwa mayoritas punya peran nyata dalam kemajuan bangsa.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?