BANDUNG, JAKARTAMU.COM | Penulis buku Irfan Amalee mengajak generasi muda untuk kembali belajar dari kearifan Suku Baduy. Pesan itu disampaikannya dalam seminar bertema “Refleksi dan Agenda Aksi: Relasi Alam Semesta dan Manusia” yang digelar BEM Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung, Sabtu (10/5/2025).
Dalam forum yang berlangsung di lobi utama kampus, pendiri Peacesantren Welas Asih ini mengajak para mahasiswa untuk keluar dari cara pandang lama yang melihat alam sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi sesuka hati. Ia mengingatkan, “Kita lupa bahwa alam bukanlah sesuatu yang statis, ia hidup, dinamis, dan merespons.”
Irfan menyitir cara hidup Suku Baduy yang tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi menyatu dengannya. “Bagi masyarakat adat, menyakiti alam sama saja dengan menyakiti diri sendiri,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengaitkan filosofi tersebut dengan ajaran Islam yang menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem dengan tanggung jawab spiritual atas keberlanjutan alam. “Kita bukan penguasa, tapi khalifah. Ada amanah besar yang harus dijaga,” tambahnya.
Seminar ini tidak hanya memantik pemikiran ekologis, tetapi juga menjadi ruang refleksi bagi mahasiswa yang hadir dari berbagai jurusan. Mereka diajak menggugat paradigma antroposentris yang selama ini mendominasi relasi manusia-alam—sebuah cara pandang yang menempatkan manusia sebagai pusat dan mengabaikan hak-hak alam.
Presiden Mahasiswa UM Bandung, Muhammad Tazakka Ahsan, secara terbuka mengakui rendahnya kesadaran lingkungan di lingkungan kampus. “Kampus kita belum hijau. Inilah saatnya kita ubah pola pikir dan gaya hidup kita,” ujarnya penuh semangat. Ia juga mengajak seluruh organisasi mahasiswa untuk aktif dalam gerakan penghijauan dan aksi berkelanjutan.
Seminar ditutup dengan aksi simbolik: pembagian dan penanaman pohon bersama yang melibatkan Tazakka dan sejumlah perwakilan organisasi mahasiswa. Bukan sekadar seremoni, aksi ini menjadi penanda bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, selama dilakukan bersama dan konsisten.