EKONOM Ekonom senior Kwik Kian Gie meninggal dunia pada usia 90 tahun, Senin (28/7/2025) malam. Kabar duka ini disampaikan politisi PDIP Andreas Hugo Pareira dan dibenarkan oleh sejumlah tokoh publik, termasuk Sandiaga Uno.
Kwik Kian Gie memang telah lama tak muncul di ruang publik. Namun sosoknya tak pernah benar-benar absen dari perbincangan mengenai ekonomi politik Indonesia. Ia tetap dikenang sebagai ekonom yang tajam, pendidik yang tekun, dan pemikir yang tak mudah tergelincir dalam arus pragmatisme kekuasaan.
Lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah pada 11 Januari 1935, Kwik menempuh pendidikan tinggi di Nederlandsch Economische Hogeschool, Rotterdam, yang kini dikenal sebagai Erasmus University. Setelah kembali ke Indonesia, ia memulai karier sebagai pengusaha dan pengajar. Namun kontribusinya meluas jauh melampaui ruang kelas. Ia tampil sebagai analis ekonomi yang lugas dan dipercaya banyak kalangan karena kejujurannya dalam menyampaikan pendapat, sekalipun bertentangan dengan kekuatan dominan.
Kiprahnya dalam pemerintahan dimulai pada era transisi pasca-Soeharto. Presiden Abdurrahman Wahid menunjuknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1999–2000), lalu pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri ia dipercaya memimpin Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2001–2004). Dalam dua jabatan itu, Kwik mengusulkan pendekatan ekonomi yang lebih protektif terhadap kepentingan nasional, menolak tekanan IMF yang dianggap mempercepat liberalisasi tanpa kesiapan industri dalam negeri, serta menentang kebijakan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melalui Surat Keterangan Lunas (SKL).
Sikap kritis itu bukan sekadar sikap teknokratik. Ia secara konsisten membawanya ke ruang publik. Lewat kolom “Analisis Kwik Kian Gie” yang rutin terbit dalam harian nasional, serta berbagai forum akademik, ia menentang keras pola pembangunan berbasis utang yang tidak dikawal oleh peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan memilih keluar dari garis resmi partai demi menjaga integritas personalnya. Ia pernah menolak tawaran untuk menjadi Ketua MPR, karena merasa itu bukan medan yang sesuai dengan orientasi hidupnya. Di masa-masa akhir hidupnya, ia juga menolak keras proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), karena dinilai tidak mendesak dan tidak menjawab persoalan mendasar ekonomi rakyat.
Warisan Kwik bukan semata dalam bidang kebijakan. Ia mendirikan beberapa lembaga pendidikan yang berpengaruh, seperti SMA Erlangga Surabaya (1954), Institut Manajemen Prasetiya Mulya (1982), serta Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII), yang kini dikenal sebagai Kwik Kian Gie School of Business. Semua itu ia lakukan bukan sebagai cara mencari nama, tetapi sebagai bentuk komitmen jangka panjang terhadap penciptaan ekosistem pendidikan yang memerdekakan cara berpikir. Karyanya yang paling dikenal publik, Saya Bermimpi Menjadi Konglomerat (1993), menyuguhkan ironi dan kritik tajam terhadap model ekonomi Indonesia yang membuat konglomerasi tumbuh tanpa fondasi meritokrasi dan etika.
Meski menginjak usia lanjut, Kwik tetap mengikuti perkembangan ekonomi nasional. Bahkan dalam wawancara dan unggahan terakhirnya, ia masih mempertanyakan arah kebijakan fiskal pemerintah, terutama menyangkut rasionalitas pembiayaan utang dan ketimpangan dalam alokasi APBN. Namun kondisi kesehatannya mulai menurun beberapa bulan terakhir. Ia sempat menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Medistra akibat gangguan pencernaan. Saat tubuhnya mulai lemah, pikirannya tetap menyalakan sorot yang tidak mau tunduk pada kompromi yang merusak nalar.
Kwik tidak pernah mengklaim diri sebagai oposisi kekuasaan, tapi ia menolak tunduk pada tafsir tunggal tentang pembangunan. Ia tidak anti asing, tetapi juga tidak memuja modal luar negeri secara membabi buta. Ia memimpikan ekonomi yang memberi tempat pada akal sehat, bukan sekadar angka-angka pertumbuhan yang semu. Ia berdiri di persimpangan antara data dan nurani, dan memilih untuk tetap setia pada apa yang diyakininya benar.
Kini, ketika ia telah pergi, Indonesia kehilangan seorang intelektual yang dalam banyak hal bertindak sebagai rem dalam kegaduhan pembangunan. Ia tidak selalu populer, tapi gagasannya tetap penting dibaca ulang di tengah gelombang penyeragaman berpikir. Dalam setiap lembar tulisan, setiap institusi yang ia dirikan, dan setiap kebijakan yang pernah ia tolak atau dukung, ada pesan yang tetap hidup: bahwa kejujuran intelektual bukan barang mewah, tapi kebutuhan dasar dalam republik yang ingin tetap waras. (*)