Selasa, Januari 14, 2025
No menu items!

Menjauhkan Diri dari Syubhat karena Takut Terlibat dalam Haram

Must Read

JAKARTAMU.COM | Syubhat adalah merujuk pada perkara-perkara yang samar dan kurang jelas hukumnya, sehingga meragukan. Selain mengacu pada suatu perkara yang tidak begitu jelas hukumnya, syubhat adalah sesuatu yang juga bisa dipahami sebagai kerancuan berpikir, sehingga sesuatu yang salah dapat terlihat benar, atau sebaliknya.

Salah satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu: Ia tidak membiarkan manusia dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram, bahkan yang halal dijelaskan sedang yang haram diperinci.

Allah SWT berfirman: “Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia haramkan atas kamu.” (QS al-An’am: 119)

Masalah halal yang sudah jelas, boleh saja dikerjakan. Dan soal haram pun yang sudah jelas, sama sekali tidak ada rukhsah untuk mengerjakannya, selama masih dalam keadaan normal.

“Tetapi di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal dan haram,” ujar Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam buku yang diterjemahkan Mu’ammal Hamidy berjudul “Halal dan Haram dalam Islam” (PT Bina Ilmu, 1993).

Persoalan tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.

Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara’ (suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Di mana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.

Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara’i) yang sudah kita bicarakan terdahulu. Di samping itu cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.

Dasar pokok daripada prinsip ini ialah sabda Nabi yang mengatakan:

“Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat,. dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-hampir ia akan iatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang diharamkan.” (Riwayat Bukhari, Muslim dan Tarmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tarmizi).

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Zakky Mubarak, menjelaskan sebagai seorang Muslim, selain kita meninggalkan yang diharamkan, diperintahkan juga untuk meninggalkan yang syubhat. “Dengan demikian agama dan kehormatan kita menjadi bersih,” ujar Kiai Zakky.

Menurut Ketua Lembaga Dakwah PBNU periode 2010-2015 itu, syubhat akan menyeret seseorang pada sesuatu yang diharamkan, seperti seorang penggembala yang menggiring ternaknya ke daerah larangan. Maka dengan tidak disadarinya ternak itu akan melanggar daerah tersebut.

Tergantung Pada Hati

Kiai Zakky juga menjelaskan, dalam diri seseorang terdapat kalbu, bila kalbunya baik maka baiklah diri orang itu, dan bila buruk maka buruk pula dirinya.

Pada hakikatnya manusia itu tergantung pada hatinya, sebab ialah yang memberikan komando kepada semua anggota badan untuk berbuat atau tidak berbuat. Karena itu bila kalbunya baik, maka baiklah seluruh kegiatannya, dan bila buruk, maka keburukan akan mewarnai kehidupannya.

“Sesuatu yang syubhat sering dianggap enteng dalam praktik kehidupan umumnya umat manusia. Padahal banyak sekali orang yang terjerumus dalam kecelakaan, karena sesuatu yang dianggapnya ringan. Banyak yang mengira sesuatu dianggap ringan, padahal di sisi Allah adalah berat,” ucap dosen senior Universitas Indonesia (UI) ini.

Menurutnya, kalbu diibaratkan sebagai radar yang amat peka pada diri manusia, sehingga ia bisa mendeteksi keburukan-keburukan yang tidak nampak dan tersembunyi dalam bungkus-bungkus yang halus.

“Bahkan sekalipun fatwa telah disampaikan oleh seseorang, yang dianggap lebih mengerti dari dirinya. Karena fatwa itu tidak tepat, maka akan diseleksi oleh kalbu dan kemudian ditolaknya,” tandas KH Zakky Mubarak.

Untold Story Muhadjir Effendy Jadi Menteri Kabinet Jokowi

JAKARTAMU.COM | "Waktu itu Pak Jokowi telah ditetapkan menjadi presiden. Saya bertemu waktu masih di rumah dinas Gubernur DKI...

More Articles Like This