Oleh Johan Romadon | Wakil Ketua Lazismu DKI Jakarta Bidang Keuangan
BADAN Pusat Statistik (BPS) menetapkan Garis Kemiskinan Nasional per Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Angka ini secara formal digunakan sebagai penanda seseorang dikategorikan miskin atau tidak secara statistik. Namun dalam praktiknya, nominal tersebut sulit menggambarkan kebutuhan riil hidup, terutama di wilayah perkotaan yang memiliki biaya hidup tinggi. Bagi banyak kalangan, termasuk mahasiswa yang merantau, angka ini sangat jauh dari mencukupi.
Untuk menggambarkan ketimpangan ini, bisa dilihat dari pengeluaran harian yang mungkin dialami oleh mahasiswa perantauan. Mahasiswa membutuhkan tempat tinggal, makan, transportasi, perlengkapan kuliah seperti buku dan internet, serta kebutuhan pribadi lainnya. Dengan patokan Rp609.160 per bulan, berarti seseorang hanya bisa mengandalkan sekitar Rp20.000 per hari. Jumlah ini tidak cukup untuk menutupi kebutuhan dasar.
Salah satu komponen pengeluaran terbesar adalah tempat tinggal. Di kota-kota besar, biaya sewa kamar kost termurah berkisar antara Rp500.000 hingga Rp1.000.000 per bulan. Ini berarti pengeluaran untuk tempat tinggal saja sudah melampaui garis kemiskinan yang ditetapkan. Belum termasuk biaya makan, yang jika diasumsikan satu kali makan di warung sederhana memerlukan Rp10.000 hingga Rp15.000, maka untuk tiga kali makan sehari dibutuhkan setidaknya Rp30.000 sampai Rp45.000. Mahasiswa kerap menyiasatinya dengan makan dua kali sehari atau membeli makanan semurah mungkin, sering kali dengan kualitas gizi yang rendah.
Biaya transportasi juga perlu diperhitungkan, terutama bagi mereka yang harus bepergian dari tempat tinggal ke kampus atau tempat magang. Biaya ini dapat mencapai ratusan ribu rupiah per bulan, tergantung pada jarak dan moda transportasi yang digunakan. Di luar itu, kebutuhan akademik seperti fotokopi, buku, paket internet, dan alat tulis pun menjadi beban tersendiri. Dalam beberapa kasus, mahasiswa juga harus mengeluarkan uang untuk keperluan praktikum, tugas lapangan, atau seminar.
Selain kebutuhan rutin, ada juga kebutuhan mendesak atau tak terduga seperti biaya berobat atau pembelian obat ringan. Dalam kondisi dengan penghasilan sangat minim, kebutuhan semacam ini sulit terpenuhi dan dapat berujung pada risiko kesehatan atau keterlambatan pemulihan.
Jika garis kemiskinan tetap ditetapkan terlalu rendah, dampaknya tidak hanya terbatas pada masalah data, tetapi juga berimbas pada kebijakan. Statistik yang menunjukkan angka kemiskinan rendah dapat menyebabkan program bantuan tidak menjangkau kelompok rentan secara memadai. Banyak individu yang hidup dalam keterbatasan justru tidak terdata sebagai penerima bantuan, hanya karena secara administratif dianggap tidak miskin. Hal ini juga berpengaruh terhadap perumusan kebijakan publik yang berbasis data kemiskinan.
Bagi mahasiswa, tekanan ekonomi seperti ini dapat berdampak pada performa akademik dan kesehatan mental. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari bisa memicu stres berkepanjangan, yang pada akhirnya menghambat proses belajar dan keterlibatan sosial di lingkungan kampus.
Melihat kondisi ini, evaluasi terhadap penetapan garis kemiskinan tidak bisa tidak menjadi penting, terutama pada metodologi perhitungannya. Garis kemiskinan seharusnya mencerminkan kebutuhan hidup layak, yang tidak hanya mempertimbangkan komoditas pangan, tetapi juga berbagai pengeluaran nonmakanan yang esensial. Data yang akurat dan representatif menjadi dasar bagi kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih adil dan efektif. (*)