Sabtu, Agustus 2, 2025
No menu items!
spot_img

Mubalighat Aisyiyah Pertajam Pemahaman Pengelolaan Keuangan Haji

Must Read

YOGYAKARTA, JAKARTAMU.COM | Menjawab pertanyaan jemaah soal tata cara ibadah haji adalah hal biasa bagi para mubalighat ‘Aisyiyah. Tetapi bagaimana menjawab pertanyaan soal dana setoran, pengelolaan keuangannya, dan transparansi di balik penyelenggaraan ibadah tersebut? Itulah yang dibahas dalam seminar yang digelar Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah bekerja sama dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di SM Tower and Convention, Yogyakarta, Kamis (31/7/2025) lalu.

Para peserta yang hadir pagi itu bukan sekadar ingin menambah wawasan keagamaan. Mereka datang karena ingin memahami bagaimana dana haji yang disetor jemaah, yang sering kali mereka dampingi secara spiritual, dikelola oleh negara. Sebanyak 150 mubalighat dari berbagai wilayah DIY dan sekitarnya duduk menyimak paparan teknis, data, sekaligus refleksi keagamaan tentang keuangan haji dari para narasumber yang berkompeten.

Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah, Casmini, menyebut seminar ini sebagai langkah konkret dalam memperkuat posisi mubalighat sebagai penyampai dakwah yang relevan dengan persoalan umat. “Bukan hanya soal ibadah, tapi juga pemahaman menyeluruh, termasuk dalam isu-isu keuangan haji yang sering menjadi pertanyaan di lapangan,” ujar Casmini.

Kegiatan ini juga menjadi tindak lanjut dari penandatanganan kerja sama resmi antara BPKH dengan PP Muhammadiyah dan PP ‘Aisyiyah yang dilakukan pagi harinya. Kepala Badan Pelaksana BPKH, Fadlul Imansyah, menyebut acara ini sebagai bentuk nyata implementasi awal dari perjanjian tersebut.

”Kami ingin para mubalighat mengenal langsung apa saja yang dikerjakan BPKH, agar informasi yang disampaikan ke jamaah tidak mengandalkan kabar simpang siur,” katanya.

Bagaimana Dana Haji Dikelola?

Sulistyowati, anggota Badan Pelaksana BPKH, menjelaskan bahwa lembaganya bertugas mengelola dana haji secara syariah dan transparan. Tanggung jawab mereka mencakup penerimaan, pengembangan, pengeluaran, hingga pertanggungjawaban keuangan.

“Karena masa tunggu haji sangat panjang, dana yang disetor tidak bisa hanya disimpan pasif. BPKH mengelola dan menginvestasikannya secara syariah agar nilainya tumbuh dan manfaatnya bisa kembali ke jamaah,” ujarnya.

Data terakhir yang dipaparkannya menunjukkan bahwa pada akhir Desember 2024, dana kelolaan BPKH telah mencapai Rp171,65 triliun, melampaui target tahunan. Sebagian dari dana ini juga dikembangkan lewat anak perusahaan yang baru dibentuk di Arab Saudi: Syarikah BPKH Limited. Perusahaan ini bergerak di sektor penyediaan akomodasi, dapur, katering, dan transportasi bagi jamaah haji.

Mohammad Mas’udi dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah turut memberikan kerangka pemikiran dari perspektif keislaman. Ia menekankan pentingnya memaknai pembiayaan haji sebagai bagian dari syarat istitha’ah (kemampuan) yang mencakup jasmani, rohani, logistik, dan juga legalitas dana yang digunakan.

“BPKH harus mencermati dari mana asal dana yang disetor masyarakat. Kehalalan sumber dana ini menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk warga Muhammadiyah sendiri,” ucapnya.

Ia juga menyampaikan beberapa masukan untuk perbaikan BPKH di masa mendatang. Di antaranya: memperluas moda transportasi haji agar tidak terjebak kartel, menyederhanakan birokrasi, dan membangun sistem manajemen yang terbuka. “Jadilah lembaga pengelola haji yang profesional dalam makna sesungguhnya, dengan manajemen modern dan transparan dalam hal-hal yang memang seharusnya terbuka,” kata Mas’udi.

Ketua PP ‘Aisyiyah, Evi Sofia Inayati merefleksikan posisi dakwah dalam konteks sosial saat ini. Ia mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi mubalighat tidak ringan. Krisis keteladanan, metode tabligh yang tidak berkembang, gaya hidup konsumtif, hingga gempuran informasi palsu dan konten digital.

“Jalan bertabligh adalah jalan mulia dan pilihan terbaik untuk kita, sehingga apapun tantangan yang dihadapi harus kita jelang dan atasi,” katanya.

Menurut Evi, menjadi mubalighat berarti juga menjadi kader yang berpikir dan bertindak sesuai karakter Muhammadiyah. “Kita harus ingat bahwa dari sekian tantangan, mubalighat adalah kader. Maka dalam menghadapi tantangan itu marilah kita berpikir, berkepribadian, berpenampilan sesuai watak dan karakter Muhammadiyah,” ujarnya.

Ia mengajak peserta untuk mulai merancang bentuk dakwah yang tidak hanya verbal, tetapi berdampak. “Tabligh kita harus diagendakan untuk perubahan, menggugah, mendobrak. Ada warna dan kekhasan mubalighat ‘Aisyiyah. Tidak hanya berbicara, tapi bagaimana pembicaraan kita punya daya tekan sehingga jamaah bisa melakukan perubahan,” tutupnya.

Mengapa Pelaku Usaha Perlu Aktif di Lazismu?

Oleh Lambang Saribuana | Ketua Lazismu DKI Jakarta "LAZISMU sebagai lembaga filantropi  tidak hanya butuh donatur (muzakki), tetapi juga memerlukan...

More Articles Like This