Sabtu, Agustus 2, 2025
No menu items!
spot_img

Babad Sepehi (10): Api dalam Tembikar Senyap

Must Read

SUASANA di balik dinding tembok keraton yang kini kosong dan sunyi, terasa berat dan penuh misteri. Di dalam sebuah rumah sederhana di kampung Kauman, seorang perempuan tua duduk termenung sambil memegang tembikar tua berwarna coklat kemerahan. Tembikar itu bukan sembarang barang; ia adalah peninggalan nenek moyang yang dipercaya menyimpan rahasia dan doa-doa pelindung kerajaan.

Namanya Mbok Sumarni, istri abdi dalem yang dulu mengabdi pada Sultan Sepuh. Meski usianya telah melewati separuh abad, matanya masih tajam dan penuh kewaspadaan. Ia menyimpan cerita-cerita masa lalu dengan rapi, dan kini menjadi salah satu penyambung lidah perlawanan dalam senyap.

Malam itu, ia mengundang beberapa pemuda dan tokoh masyarakat untuk berkumpul di rumahnya. Dengan suara rendah, ia mulai bercerita, “Tembikar ini dulu dipakai oleh prajurit-prajurit rahasia Mataram untuk mengirim pesan. Setiap retakan dan lekuknya punya makna tertentu. Seperti kehidupan kita sekarang—retak tapi tetap utuh, terluka tapi masih bertahan.”

Di hadapannya, para pemuda mendengarkan dengan seksama. Salah seorang bernama Jatmiko, seorang pemuda desa yang berani dan cerdas, bertanya, “Mbok, bagaimana kita bisa memulai perlawanan jika kita hanya berbekal cerita dan tembikar tua?”

Sumarni tersenyum tipis. “Perlawanan tidak selalu dimulai dengan senjata. Kadang, api kecil dalam hati yang terjaga adalah kekuatan terbesar. Kita harus menyalakan api itu di setiap rumah, di setiap hati yang merasa tertindas.”

Sementara itu, di balik tirai kemegahan keraton yang kini dikuasai Inggris dan Sultan boneka, keadaan semakin genting. Pasukan Inggris mulai memberlakukan aturan keras, membatasi pergerakan rakyat, dan memberangus segala bentuk perlawanan.

Namun, ada juga yang bermain di balik layar. Beberapa bangsawan mulai merapat ke kubu Inggris demi mengamankan kedudukan mereka, sementara yang lain diam-diam membangun jaringan rahasia untuk mengembalikan kejayaan Mataram.

Di satu sisi, Pangeran Mangkudiningrat yang masih terpenjara di Benteng Vredeburg terus menulis babad dan catatan peristiwa, berharap suatu saat tulisannya akan menjadi saksi kebenaran. Meski dipisahkan jarak dan waktu, hatinya tetap menyala dengan harapan akan kebangkitan.

Kembali ke Kauman, Mbok Sumarni menyerahkan sebuah gulungan kertas lusuh kepada Jatmiko. “Ini adalah peta rahasia, lukisan tangan para leluhur tentang jalur-jalur tersembunyi yang bisa kita gunakan untuk bergerak tanpa terdeteksi. Gunakan dengan bijak.”

Malam itu, di bawah rembulan yang perlahan menyingkir di balik awan, api kecil mulai menyala di hati para pemuda dan rakyat. Api yang siap membakar ketidakadilan dan kebohongan, meskipun dalam kesunyian dan ketidakpastian.

Di ujung kota, bayangan-bayangan mulai berkumpul, merencanakan langkah pertama mereka. Perlawanan yang tidak mengandalkan senjata tajam, tapi semangat yang membara dalam tembikar senyap.

(Bersambung seri ke-11: Bayang-Bayang di Balik Tirai)

Mubalighat Aisyiyah Pertajam Pemahaman Pengelolaan Keuangan Haji

YOGYAKARTA, JAKARTAMU.COM | Menjawab pertanyaan jemaah soal tata cara ibadah haji adalah hal biasa bagi para mubalighat ‘Aisyiyah. Tetapi...

More Articles Like This