Sabtu, Agustus 2, 2025
No menu items!
spot_img

Mengapa Pelaku Usaha Perlu Aktif di Lazismu?

Must Read

Oleh Lambang Saribuana | Ketua Lazismu DKI Jakarta

“LAZISMU sebagai lembaga filantropi  tidak hanya butuh donatur (muzakki), tetapi juga memerlukan penggerak dari kalangan pelaku usaha yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.”

Di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, saya sering saya bertemu pengusaha-pengusaha besar yang  lupa bahwa keberlimpahan yang ia raih adalah titipan. Mereka lupa bahwa apa yang diperoleh ada sebagian yang menjadi hak orang lain.

Padahal, ketika seorang  sudah “selesai dengan dirinya sendiri” atau “selesai dengan urusan perut,” jalan terbaik selanjutnya adalah memberi. Membagikan sebagian dari apa yang mereka punya kepada orang yang membutuhkan. Dan, salah satu cara yang tepat adalah dengan aktif di lembaga filantropi seperti Lazismu.

Mengapa hal ini perlu bagi seorang pengusaha? Pertama, level tertinggi dari kepemimpinan atau leadership adalah berbagi.  Seseorang yang bertumbuh dari bawah,  hingga pencapaian tertinggi seharusnya sadar bahwa esensi  kepemimpinan sejati adalah melayani.

Lazismu bisa  menjadi salah satu kendaraan terbaik untuk menguji tantangan ketangguhan seorang leader. Apalagi, jika pengusaha bersangkutan bertumbuh dari nol. Tanpa previlage, hanya mengandalkan semangat juang untuk tetap bertahan di kehidupan yang keras.  Dari sana pesan moral  bahwa berbagi bukan karena kita berlebih, tapi karena kita tahu rasanya kekurangan pantas menjadi renungan.

Kedua, Lazismu merupakan jalan pilihan dakwah dalam naungan Persyarikatan. Lembaga filantropi ini bukan dikelola untuk tujuan bisnis, sama sekali bukan. Akan tetapi sebaiknya dikelola dengan menggunakan logika bisnis.

Logika bisnis yang saya maksud adalah, Lazismu membutuhkan sistem, pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel. Untuk mengembangkan  organisasi ini perlu strategi pertumbuhan. Untuk menyebarkan semangat kebaikan diakselerasi dengan teknologi dan digitalisasi. Profesionalisme korporasi adalah kuncinya.

Karena harus dikelola secara modern, tentu saja gerakan filantropi ini  membutuhkan dashboard. Saat ini pitch deck jauh lebih dibutuhkan  dibanding proposal.  Inilah yang saya maksud dengan logika bisnis. Sekali lagi, bukan untuk membisniskan lazismu, tapi mengelola Lembaga  dengan sentuhan “bisnis.”

Ketiga, donasi tanpa keterlibatan tidak cukup berdampak untuk mengubah peradaban. Pengusaha sering berpikir: “Saya sudah menyumbang, maka tugas saya sudah  selesai.” Padahal keterlibatan aktif seorang donator akan sangat powerfull memperbesar dampak.

Saya percaya, seorang pengusaha terbaik adalah dia yang tahu kapan berhenti mengejar angka dan mulai mengejar makna. Untuk mengejar makna, Lazismu adalah tempatnya. Lazismu lebih dari tempat bersedekah, yaitu tempat kita menunaikan tanggung jawab moral sebagai umat manusia. (*)

Fikih Tanpa Prioritas: Warisan yang Membebani

JAKARTAMU.COM | Di balik dinding fakultas-fakultas usuluddin, suasana akademik seolah tak pernah surut. Mahasiswa sibuk membolak-balik kitab klasik tebal...

More Articles Like This