MUHAMMADIYAH kembali menunjukkan ketajaman visi dan keteguhan langkahnya dalam membangun kemandirian umat. Penandatanganan nota kesepahaman antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk. melalui Danamon Syariah, serta kehadiran Bank Syariah Matahari sebagai entitas perbankan milik Persyarikatan, adalah sinyal terang bahwa Muhammadiyah tidak ingin menjadi penonton dalam peta ekonomi nasional, apalagi dalam sektor yang berlandaskan prinsip syariah.
Di tengah stagnasi penetrasi industri perbankan syariah Indonesia yang belum melampaui angka dua digit, langkah Muhammadiyah patut diapresiasi. Tidak hanya mengandalkan kekuatan spiritual dan sosialnya yang telah teruji selama lebih dari satu abad, Muhammadiyah juga bergerak masuk ke ruang-ruang strategis perekonomian modern berbasis data, digital, dan kolaborasi multipihak.
Kerja sama dengan Danamon Syariah menunjukkan kemampuan Muhammadiyah membaca arah zaman. Di era ketika kekuatan informasi dan teknologi digital menentukan daya saing, Muhammadiyah tidak sekadar ingin mengelola lembaga pendidikan, kesehatan, dan filantropi, tetapi juga ingin memastikan bahwa pengelolaan keuangannya terintegrasi, transparan, dan efisien.
Sistem satu data, pemanfaatan QRIS, kanal donasi digital, hingga layanan keuangan berbasis kecerdasan buatan—semuanya menjadi bagian dari upaya Muhammadiyah untuk menyatukan kekuatan organisasional dengan infrastruktur teknologi yang andal.
Namun yang paling substansial adalah lahirnya Bank Syariah Matahari, yang secara resmi mendapat izin operasional dari Otoritas Jasa Keuangan pada 18 Juni 2025. Lembaga ini bukan sekadar bank, melainkan instrumen dakwah ekonomi Muhammadiyah. Dengan status sebagai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), bank ini menyasar basis ekonomi mikro dan menengah, kelompok masyarakat yang sering kali termarjinalkan oleh sistem perbankan konvensional.
Melalui surat imbauan resmi kepada seluruh unsur Persyarikatan, Muhammadiyah bahkan telah menginstruksikan penempatan dana pihak ketiga ke bank miliknya. Ini adalah bentuk konsolidasi internal yang serius, sekaligus pernyataan komitmen bahwa Muhammadiyah bukan hanya ingin memiliki bank, tetapi ingin membesarkan dan mengakarnya dalam denyut nadi ekonomi umat.
Langkah ini sejatinya bukan yang pertama. Muhammadiyah pernah memiliki Bank Persyarikatan Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal Bank Syariah Bukopin. Namun konteks hari ini berbeda. Dengan kekuatan ekosistem Muhammadiyah yang mengelola lebih dari 180 perguruan tinggi, 1.300 rumah sakit dan layanan kesehatan, serta 20.000 sekolah, Bank Syariah Matahari memiliki pangsa pasar internal yang sangat besar. Kuncinya tinggal pada sinergi, profesionalisme, dan pengelolaan berbasis good governance.
Perlu ditegaskan, keberadaan bank syariah milik ormas keagamaan bukanlah bentuk eksklusivisme ekonomi. Justru sebaliknya, ini adalah manifestasi dari keberpihakan terhadap ekonomi umat yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan. Selama ini, jargon ekonomi umat kerap terdengar nyaring namun miskin aksi nyata. Muhammadiyah menjawabnya lewat institusi.
Langkah Muhammadiyah ini juga selaras dengan dorongan OJK dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang ingin mengonsolidasikan industri perbankan syariah agar memiliki daya saing yang lebih kuat terhadap dominasi bank-bank konvensional dan bank syariah besar seperti BRIS.
Muhammadiyah, dengan 17 BPRS yang tersebar di berbagai daerah, tengah menjajaki langkah merger guna naik kelas menjadi Bank Umum Syariah (BUS). Tantangan terbesarnya tentu pada pemenuhan modal inti dan kesiapan sistem manajerial, tetapi jika organisasi ini mampu melakukan rekonsolidasi secara disiplin, potensi terwujudnya BUS milik Persyarikatan bukanlah mimpi.
Kami menilai, gerak strategis Muhammadiyah ini penting tidak hanya bagi Persyarikatan, tetapi bagi masa depan industri keuangan syariah Indonesia. Di tengah minimnya penetrasi perbankan syariah nasional yang baru menyentuh kisaran 10% dari total industri perbankan, masuknya Muhammadiyah—dengan kekuatan struktur dan ekosistemnya—dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan yang lebih sehat, kuat, dan membumi.
Namun, agar langkah ini tak berhenti di seremoni dan imbauan semata, diperlukan komitmen dari seluruh jajaran Persyarikatan untuk benar-benar mengalihkan aktivitas finansialnya ke bank milik sendiri. Edukasi keuangan, digitalisasi layanan, dan penguatan SDM keuangan di akar rumput menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan.
Di sisi lain, Bank Syariah Matahari juga harus membuktikan diri sebagai lembaga profesional yang dikelola dengan prinsip syariah sekaligus standar keuangan modern. Tidak cukup hanya membawa nama besar Muhammadiyah, bank ini harus mampu menciptakan kepercayaan, menawarkan layanan kompetitif, dan menjawab kebutuhan riil masyarakat di lapisan bawah.
Sejarah telah mencatat, bahwa Muhammadiyah bukan organisasi yang pasif dan reaktif. Dalam bidang pendidikan, kesehatan, hingga kebencanaan, kiprahnya nyata dan berjangkauan luas. Kini, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia ini telah masuk ke ranah yang lebih dalam: membangun peradaban melalui instrumen keuangan.
Langkah ini harus kita dukung. Sebab di balik deretan angka dan laporan keuangan, terdapat niat suci untuk memperjuangkan keadilan, kemandirian, dan kesejahteraan umat. (*)