Sabtu, Juli 26, 2025
No menu items!

Saat Fakultas Hukum UGM Terusir dari Keraton Kasunanan

Must Read

PADA 1 September 1945, dua kerajaan di Surakarta—Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah Pakubuwono XII dan Kadipaten Mangkunegaran di bawah Adipati Mangkunegara VIII—menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Mereka menyampaikan kesetiaan langsung kepada Presiden. Empat hari kemudian, Kasultanan Yogyakarta di bawah Hamengkubuwono IX dan Kadipaten Pakualaman VIII mengikuti langkah serupa.

Sejak saat itu, wilayah bekas Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta yang semula berstatus swapraja Hindia Belanda berubah menjadi daerah istimewa. Empat kerajaan itu dikenal sebagai Tanah Raja (Vorstenlanden), kawasan di mana tanah dianggap milik raja, dan rakyat hanya memiliki hak pakai (anggaduh). Raja mengatur administrasi pemerintahan, kependudukan, serta hukum keperdataan, termasuk urusan agraria.

Sementara sistem hukum kolonial Belanda tetap diberlakukan secara terbatas untuk kalangan Eropa, Timur Asing (Tionghoa dan Arab), dan Jepang, raja tetap memegang kendali atas pemerintahan sipil. Gubernur Jenderal menempatkan Residen di wilayah ini, tetapi hanya sebagai penghubung, bukan penguasa langsung. Di bawah raja, posisi Patih berfungsi sebagai kepala pemerintahan yang bertanggung jawab kepada dua otoritas sekaligus—Raja dan Residen—mewakili bentuk pemerintahan tidak langsung.

Kondisi ini membedakan empat kerajaan Tanah Raja dari kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Mereka menjalankan pemerintahan dalam struktur tradisional, namun tetap berada dalam orbit sistem kolonial.

Pada masa pergerakan nasional, karakter aktivisme di Surakarta dan Yogyakarta berkembang dalam bentuk yang berbeda. Di Solo, gerakan dipicu oleh dinamika politik, sementara di Yogyakarta lebih banyak berkutat pada aktivitas sosial dan pendidikan. Di Solo, berbagai surat kabar seperti Bromartani, Djurumartani, Yudha, dan Adil menjadi alat penyebaran gagasan politik. Di Yogyakarta, media seperti Mataram, Retnodhumilah, dan Suara Muhammadiyah mewakili arah yang lebih sosial dan keagamaan. Kemudian muncul Kedaulatan Rakyat, yang berkembang menjadi media utama di Yogyakarta.

Sebelum kemerdekaan, Solo sudah menjadi kota yang relatif kosmopolit. Surat kabar dari Semarang, Batavia, dan Bandung beredar di sana. Namun dinamika ini juga memunculkan ketegangan internal. Beberapa tokoh seperti Ronggowarsito dan Cipto Mangunkusumo mengalami tekanan karena dianggap menentang tatanan lama keraton. Gerakan rakyat juga dipengaruhi tokoh-tokoh seperti KH Misbach dan KH Ahmad Dasuki, yang berada dalam garis Islam kiri.

Setelah kemerdekaan, Yogyakarta ditetapkan sebagai ibu kota Republik Indonesia pada Januari 1946. Namun, keputusan ini tidak diterima secara bulat oleh kalangan politik di Solo. Penolakan terhadap pusat kekuasaan di Yogyakarta berkembang menjadi oposisi yang sistematis. Juli 1946, Partai Komunis Indonesia dihidupkan kembali di Solo.

Kekacauan politik mulai terjadi, Syahrir diculik, Patih Kasunanan dibunuh, begitu pula Dr. Muwardi, tokoh yang dekat dengan Tan Malaka. Kolonel Sutarto juga tewas, yang memperkeruh konflik antara Divisi Siliwangi dan pasukan lokal seperti Divisi Senopati dan Tentara Laut Republik Indonesia. Perbedaan etnis dan orientasi politik memperbesar jurang permusuhan.

Sikap oposisi Solo terhadap Yogyakarta tidak terbatas pada soal pemerintahan. Ketika Universitas Gadjah Mada mulai dirintis, Solo sempat menjadi lokasi sementara beberapa fakultas. Fakultas Hukum ditempatkan di Kompleks Pagelaran Keraton Kasunanan, sedangkan Fakultas Kedokteran dan Pertanian beroperasi di Klaten.

Namun, pada 1949, Fakultas Hukum yang diusir dari kompleks keraton. Fakultas Kedokteran tetap berada di RSU Tegalyoso, dan Pertanian bertahan di Trucuk, Klaten. Pengusiran ini tidak bisa dilepaskan dari sikap politik Kasunanan yang menentang kebijakan pusat, termasuk keberadaan UGM yang dianggap representasi kekuasaan Yogyakarta.

Perbedaan iklim sosial keagamaan antara dua kota itu juga berpengaruh. Di Solo, komunitas Islam terpecah dalam berbagai kelompok dengan orientasi ideologi yang berbeda. Di Yogyakarta, konsolidasi umat Islam lebih solid di bawah pengaruh Muhammadiyah. Ini turut memperkuat stabilitas sosial dan posisi Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan.

Meskipun status keistimewaan Surakarta dicabut, Yogyakarta tetap mempertahankan hubungan kulturalnya dengan dua keraton di Solo. Hingga kini, ketika seorang putri keraton Yogyakarta akan menikah, tetap ada tradisi untuk “meminta izin” kepada Kasunanan dan Mangkunegaran—sebuah pengakuan simbolik terhadap kekerabatan antara kerajaan-kerajaan itu.

Sebelum reformasi agraria bergulir, kapitalisme sudah lebih dulu mengubah wajah ekonomi Tanah Raja. Sejak 1870, ekspansi industri perkebunan—gula, tembakau, kakao, dan kopi—menyulut perubahan besar di segitiga Solo, Yogyakarta, dan Semarang. Pada 1872, jalur kereta api yang dimulai dari Tanggung, dekat Semarang, menghubungkan ketiga kota tersebut ke Pelabuhan Tanjung Mas untuk memperlancar ekspor.

Pertumbuhan industri menciptakan jurang sosial yang dalam. Sementara ekonomi berkembang, kesenjangan antara elite dan buruh semakin lebar. Dalam konteks inilah kesadaran kolektif dan perlawanan rakyat mulai tumbuh.

Kebijakan Politik Etis yang diluncurkan pemerintah kolonial pada 1901 memperkuat dinamika ini. Kebijakan yang dipicu oleh fraksi kiri di parlemen Belanda melahirkan program pendidikan, pengairan, dan transmigrasi. Pendidikan menjadi sektor pertama yang dibuka luas.

Solo menjadi lokasi sekolah guru pertama di Hindia Belanda. Kasunanan juga mendirikan sekolah guru agama. Di Yogyakarta, Muhammadiyah lahir dengan restu Sultan Hamengkubuwono VII. Gagasan Islam modern yang dibawa KH Ahmad Dahlan sejalan dengan semangat Politik Etis.

Jogja dan Solo sama-sama mengalami perubahan akibat industrialisasi, tetapi meresponsnya dengan cara berbeda. Yogyakarta membangun institusi pendidikan dan kebudayaan, seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa. Solo lebih banyak menumbuhkan organisasi berbasis ekonomi, seperti Sarekat Dagang Islam yang kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam. (*)

Dibuka Tari Saman, Kampanye Kesehatan Muhammadiyah yang Terbesar di Pulau Tidung

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTAMU.COM | Derap tepuk tangan dan gerak serempak sepuluh siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 26 Jakarta menjadi...

More Articles Like This