JAKARTAMU.COM | Suatu hari nanti seluruh umat Islam di dunia suatu hari nanti merayakan Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha pada tanggal yang sama. Visi besat menyatukan umat itulah yang diperjuangkan Muhammadiyah lewat Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT).
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam beberapa kesempatan mengungkapkan keyakinan bahwa KHGT adalah keniscayaan sejarah. Muhammadiyah akan bersabar sampai KHGT akhirnya diterima umat Islam di seluruh dunia, bahkan di Indonesia sendiri.
“Prosesnya mungkin lama, bisa 10, 50, atau 100 tahun, tapi Muhammadiyah akan sabar menanti,” ujar Haedar dalam peluncuran KHGT di Universitas Aisyiyah, Rabu (25/6/2025) lalu.
Dalam tayangan Ruang Publik TVMu, Sabtu (5/7/2025), tiga pakar Muhammadiyah, Agus Purwanto, Tono Saksono, dan Syamsul Anwar, mengupas tuntas sejarah panjang KHGT, tantangan sosial-budaya yang membentang, serta strategi jangka panjang untuk menjadikannya kalender bersama umat Islam dunia.
Profesor Agus Purwanto, Guru Besar Fisika Teori ITS sekaligus anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menyebut KHGT sebagai kebutuhan mendesak umat Islam global. Menurutnya, perbedaan metode hisab dan rukyat selama ini bukan sekadar urusan teknis, tapi telah menjadi simbol ketidakselarasan yang berulang setiap tahun.
“KHGT ini bukan isu nasional, ini proyek global. Kita ingin umat Islam di mana pun berada memiliki satu tanggal yang sama, satu rasa kebersamaan,” ujarnya.
Agus menambahkan, transformasi ini perlu dimulai dari dalam. Sosialisasi tidak bisa hanya mengandalkan pusat; harus sampai ke ranting, masjid-masjid kecil, hingga majelis taklim di perkampungan. Kesadaran umat dibangun melalui pendekatan bertahap, bukan lewat instruksi tiba-tiba.
Hal senada disampaikan Tono Saksono, pakar astronomi Islam Muhammadiyah. Ia menjelaskan bahwa KHGT lahir dari kerja kolektif sejak 2007, saat digelar seminar internasional di Jakarta. Sejak saat itu, Muhammadiyah konsisten menggelar diskusi lintas organisasi, merumuskan kriteria, dan membangun konsensus ilmiah.
“Setelah diresmikan, kerja belum selesai. Tantangan terbesarnya justru dimulai: bagaimana membawa KHGT ke tengah umat, ke dunia internasional,” katanya.
Tono menggarisbawahi pentingnya kerja sama dengan lembaga-lembaga besar seperti OKI, Dianet Turki, Fiqh Council of North America, dan European Council for Fatwa and Research. Menurutnya, pengakuan global hanya bisa dicapai melalui sinergi dan diplomasi yang konsisten.
Sementara itu, Syamsul Anwar, Ketua PP Muhammadiyah periode 2022–2027, menyoroti pentingnya strategi komunikasi yang lebih adaptif. Seminar dan dialog formal tetap perlu, tapi menurutnya tidak cukup.
“Kita perlu masuk ke publikasi ilmiah, artikel populer, bahkan konten digital. Dai-dai juga harus dilatih supaya bisa menjelaskan KHGT dengan bahasa yang membumi,” jelas Syamsul.
Ketiganya sepakat bahwa tantangan terbesar bukan hanya teknis atau politik, tetapi kultural. KHGT menantang tradisi 15 abad yang sangat lekat di hati umat: metode rukyat dan wujudul hilal. Agus Purwanto menekankan bahwa perubahan paradigma seperti ini memerlukan kesabaran ekstra dan komunikasi yang cerdas.
Ke depan, Muhammadiyah merancang aplikasi digital KHGT yang dapat diakses masyarakat luas. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di berbagai negara juga akan dioptimalkan sebagai duta diplomasi kalender global ini.
KHGT menjadi simbol Islam yang ilmiah, modern, dan bersatu dalam keberagaman. Komitmen, kerja keras, dan jejaring global yang dibangun selama hampir dua dekade membuat Muhammadiyah semakin yakin KHGT adalah warisan strategis umat untuk masa depan Islam yang lebih selaras dan inklusif. ”Jer basuki mawa bea, setiap keberhasilan butuh pengorbanan,” kata Tono Saksono. (*)