MALAM merayap perlahan, menutupi rumah dengan sunyi yang lebih pekat dari kelam. Kau duduk di ujung ranjang, menunduk menatap jemarimu sendiri. Aku berdiri di ambang pintu kamar, memandangi punggungmu yang dulu membuatku merasa aman.
Lucu. Dulu aku bisa menatap punggungmu lama-lama sambil merasa syukur. Kini aku menatapnya lama-lama hanya untuk memastikan aku masih sanggup berdiri.
“Kau mau teh hangat?” tanyaku, dengan suara yang lebih mirip bisikan.
Kau menggeleng pelan. Tak menoleh. Tak menjawab dengan kata.
Hanya diam, yang lebih mematikan daripada teriakan.
Aku melangkah ke meja rias, menghapus sisa lipstik yang sudah luntur sejak siang. Kulit wajahku tampak lebih pucat dari biasanya. Barangkali karena terlalu sering bergulat dengan cemas yang tak pernah reda.
Pukul satu dini hari, aku masih terjaga. Kau sudah rebah di sisi ranjang, memunggungiku. Aku pun membaringkan tubuh. Tapi mataku tak mau tertutup.
Dalam gelap, aku mengingat banyak hal: malam pertama kita di rumah ini, saat kita tak bisa tidur karena lampu kamar selalu mati sendiri. Kau menertawakannya sambil bilang, “Rumah ini pasti malu-malu sama kita.” Dan aku pun tertawa, meski gugup.
Sekarang, bahkan jika lampu padam lagi, aku tak yakin kita akan peduli.
Pagi datang dengan langkah berat. Kau berkemas lebih cepat dari biasanya. Seakan tak ingin berlama-lama menghirup udara yang sama denganku.
Aku berdiri di ambang pintu dapur, menatapmu yang sibuk merapikan jas. Entah sejak kapan melihatmu bersiap pergi terasa lebih menyakitkan daripada mendengar kata perpisahan.
“Kalau kau ingin bicara, aku di sini,” kataku pelan.
Kau berhenti sejenak. Tapi tak ada jawaban. Kau hanya menunduk, merapikan kerah, lalu keluar rumah dengan langkah cepat.
Saat pintu menutup, aku merasakan sesuatu di dadaku yang retak sedikit lebih lebar. Luka kecil yang dulu kupikir bisa sembuh sendiri, ternyata tumbuh jadi lubang yang tak bisa kutambal.
Siang itu aku membuka lemari, mengeluarkan kotak kayu tempat aku menyimpan surat-surat lama. Surat-surat yang kau tulis saat kita masih saling merindukan. Ada kertas yang warnanya sudah pudar, tulisannya mulai kabur. Tapi satu kalimat tetap terbaca jelas:
Kalau kau terluka, aku akan selalu jadi obatnya.
Ironis. Kau dulu ingin jadi obat, tapi kini kau adalah luka yang tak sempat kuobati.
Aku meraba huruf-huruf di kertas itu, mencoba menghidupkan kembali rasa lama. Tapi yang kudapat hanya sesak yang menekan tulang rusukku.
Aku duduk di lantai, membiarkan air mata jatuh satu-satu. Tidak meledak, tidak histeris hanya pelan, seperti kebiasaan kita menunda pembicaraan.
Sore datang membawa langit kelabu. Hujan turun lagi. Aku menyalakan lampu, memeluk bantal di kursi ruang tamu. Kulkas berdengung pelan, suara jam berdetak, dan di antara semua itu, sepi terdengar semakin nyaring.
Kau pulang menjelang malam. Kali ini wangi parfum itu lebih tajam dari biasanya. Kau berdiri di ambang pintu, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk.
Aku menatapmu. Ada kalimat yang ingin kutanyakan, tapi tak sanggup lagi kubentuk dengan bibir yang mulai lelah bicara pada dinding.
Kau mendekat beberapa langkah. Tatapanmu tak lagi berusaha menipu. Ada pengakuan yang tak terucap, tapi jelas terbaca di matamu: kau tak lagi di sini. Kau tak lagi pulang ke rumah ini.
Dan di saat itu aku merasa, barangkali luka terburuk bukan yang kau tanggung sendirian. Tapi luka yang kau pelihara bersama-sama, tapi pura-pura tak pernah ada.
“Aku mandi dulu,” katamu singkat.
Aku hanya mengangguk.
Saat kau menghilang di balik pintu kamar mandi, aku menatap jendela yang basah oleh hujan. Di luar sana, air turun tak henti, mencuci jalanan, mencuci atap, mencuci apa saja yang kotor.
Andai hujan bisa mencuci hatiku, barangkali malam ini aku bisa tidur tanpa rasa sesak.
Tapi luka yang tak sempat kuobati itu kini menjadi bagian dari diriku. Luka yang terus berdetak bersama nadiku, tak mati, tak sembuh.
Dan aku pun hanya bisa duduk di ruang tamu yang semakin hampa, menunggu pagi yang entah akan membawa jawaban, atau justru akhir yang tak pernah kita siapkan.
(Bersambung seri ke-9: Kenangan yang Kian Membeku)