Rabu, Juli 9, 2025
No menu items!

Indonesia Darurat Sampah, BRIN Gagas Gerakan Inovasi dari Hulu ke Hilir

Must Read

JAKARTAMU.COM | Indonesia kini berada dalam situasi darurat sampah. Setiap hari, sekitar 190 ribu ton sampah dihasilkan di seluruh penjuru negeri, dan hampir seperlimanya terdiri dari plastik yang sulit terurai.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023, per 24 Juli 2024 hasil input dari 290 kab/kota se Indonesia menyebutkan jumlah timbunan sampah nasional mencapai angka 31,9 juta ton. Dari total produksi sampah nasional tersebut 63,3% atau 20,5 juta ton dapat terkelola, sedangkan sisanya 35,67% atau Sebanyak 11,3 juta ton sampah di Indonesia tidak terkelola.

Masalah ini tak bisa lagi dianggap sepele karena dampaknya meluas pada keberlanjutan hidup, keadilan ekologis, bahkan menyentuh isu kedaulatan energi bangsa.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN),melalui pendekatan berbasis riset, teknologi, dan partisipasi masyarakat, mendorong transformasi tata kelola sampah yang menyeluruh, dari hulu ke hilir. Namun langkah ini hanya akan berhasil jika menggabungkan inovasi ilmiah dengan dorongan etika dan spiritualitas lingkungan.

Prof. Emil Salim, tokoh nasional lingkungan hidup sekaligus anggota Dewan Pengarah BRIN, menilai darurat sampah adalah cermin dari kegagalan kolektif bangsa dalam memperlakukan sumber daya. Ia menyebut bahwa riset dan nilai spiritual seharusnya tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling menopang sebagai kekuatan perubahan.

“Darurat sampah bukan cuma soal volume, tapi soal kegagalan kolektif kita dalam mengelola, memilah, dan menghargai sumber daya. Di sinilah riset dan spiritualitas harus saling menopang,” kata Emil dalam siaran pers BRIN, dikutip Rabu (9/7/2025).

Salah satu terobosan yang kini menjadi andalan BRIN adalah teknologi pirolisis Petasol. Inovasi ini mampu mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar cair, dan dikembangkan bersama Pemerintah Kabupaten Banjarnegara serta jaringan bank sampah di daerah tersebut. Dengan sistem Fast Pyrolysis generasi ke-6 atau Faspol, Petasolkini telah direplikasi di lebih dari 50 lokasi, dari Sumatra hingga Sulawesi.

Produknya berupa bahan bakar cair dengan cetane number 53, setara solar industri, dihasilkan dalam kapasitas 250 liter per hari, dan ditargetkan meningkat menjadi 2.000 liter per hari. Investasi per unitnya sekitar Rp4 miliar, dan saat ini telah masuk dalam e-Katalog LKPP, membuka jalan bagi adopsi resmi pemerintah daerah.

Menurut Dr. Tri Martini Patria, Koordinator Kelompok Riset Energi Limbah BRIN, teknologi ini bukan hanya menawarkan solusi energi alternatif, tetapi juga menjadi bentuk kedaulatan masyarakat atas limbahnya sendiri. Baginya, Petasol bukan sekadar alat konversi energi, melainkan simbol perlawanan terhadap ketergantungan pada solusi eksternal yang mahal dan tak berkelanjutan.

“Petasol adalah bentuk kedaulatan rakyat atas limbahnya. Dari rakyat, untuk rakyat,” katanya.

Transformasi semacam ini kini mulai mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah. Kota Semarang, misalnya, menjadi yang pertama di Indonesia yang menerbitkan regulasi pemanfaatan bahan bakar berbasis sampah plastik melalui Peraturan Wali Kota Nomor 7 Tahun 2025. Di saat yang sama, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) di Jatibarang juga telah mulai beroperasi. Pembangkit ini dirancang menyerap 1.000 ton sampah per hari dan menghasilkan listrik sebesar 6 hingga 8 megawatt.

Upaya Semarang tak berhenti di situ. Kota ini juga mencatat capaian penting dalam penguatan ekonomi sirkular. Dengan 1.074 bank sampah aktif dan lebih dari 278 ribu rumah tangga yang telah terbiasa memilah sampah, perputaran ekonomi daur ulang di kota ini telah mencapai Rp 570 juta per tahun. Jumlah pekerja hijau, termasuk pemulung, teknisi, dan pelaku UMKM daur ulang, telah menembus angka 35 ribu orang.

Namun BRIN menyadari, pendekatan teknologi saja tidak cukup untuk membangun budaya ekologis yang berkelanjutan. Karena itu, lembaga ini juga menggagas gerakan lintas iman bernama REACT (Religion Environmentalism Action). Melalui gerakan ini, para pemuka agama diajak menanamkan nilai cinta bumi sebagai bagian dari ekspresi keimanan.

Tri Mumpuni, aktivis lingkungan dan pelopor energi mikrohidro yang tergabung dalam REACT, menekankan bahwa perubahan gaya hidup tidak cukup didorong oleh aturan, melainkan memerlukan kekuatan moral dan kebudayaan yang tumbuh dari keyakinan masyarakat itu sendiri.

“Perubahan gaya hidup tidak cukup dengan aturan. Agama punya kekuatan moral untuk membentuk budaya ekologis baru,” ujar dia.

Dalam waktu dekat, BRIN akan menandatangani nota kesepahaman dengan Gubernur Jawa Tengah untuk memperluas replikasi Petasol ke desa-desa, sebagai bagian dari upaya transisi energi komunitas yang berbasis pada sumber daya lokal. (*)

Bintang Legiun Veteran Menambah Deretan Koleksi Penghargaan Haedar Nashir

JAKARTAMU.COM | Sosok Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir rupanya memang memikat banyak pihak. Rentetan penghargaan telah diterima...

More Articles Like This