Senin, Juli 7, 2025
No menu items!

Ibu Kota Nusantara, Mahalkarya Anak Bangsa

Must Read

PEMBANGUNAN Ibu Kota Nusantara (IKN) tahap pertama diklaim telah rampung 100 persen. Gedung-gedung baru, jalanan licin tanpa cela, serta taman hijau nan rapi segera ditampilkan dalam berbagai kanal resmi dan media sosial.

Yang mengejutkan, visual menawan itu membawa konsekuensi cukup berat bagi rakyat. Biaya perawatan IKN mencapai Rp300 miliar per tahun. Angka yang bikin geleng-geleng kepala hanya untuk perawatan.

Jumlah fantastis ini kontras dengan kenyataan sehari-hari jutaan warga yang masih berkutat mencari beras murah, antre subsidi, dan bertahan hidup di tengah harga kebutuhan pokok yang terus melonjak. Negara tampak lebih sibuk merawat istana baru ketimbang menguatkan fondasi kesejahteraan rakyatnya.

Indonesia kerap menciptakan proyek besar dengan ambisi tinggi, tapi eksekusi yang setengah matang dan pembiayaan yang membebani rakyat. IKN menjadi salah satu contoh nyata. Proyek ini memang terlihat megah dalam tampilan visual, tetapi belum menyentuh persoalan paling dasar yang dihadapi mayoritas warga: akses pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur desa yang layak.

Tagihan Rp300 miliar itu bisa dipakai membangun ratusan sekolah baru, memperbaiki jembatan penghubung antar-desa, atau memastikan distribusi air bersih ke pelosok negeri. Namun yang kita lihat justru proyek yang lebih sibuk memoles citra ketimbang menjawab kebutuhan mendesak.

Pemerintah terus mendorong narasi investasi jangka panjang. Barangkali tidak salah. Namun lihatlah bagimana hari ini masyarakat bertahan hidup. Anak-anak membutuhkan gizi cukup sekarang, bukan lima dekade ke depan. Listrik harus stabil malam ini, bukan menunggu teknologi canggih IKN yang entah kapan bisa dirasakan warga desa.

Rakyat tidak membutuhkan kota baru yang dibangun seperti brosur properti. Bagi mereka, ibu kota sesungguhnya adalah tempat di mana kehidupan mengalir: pasar tradisional, ladang pertanian, warung tempat mereka mengutang beras dan gula. Mereka ingin kepastian harga pangan, akses jalan yang tak lagi rusak, dan jaminan layanan dasar yang manusiawi.

Bila pemerataan memang menjadi alasan utama pemindahan ibu kota, mengapa jalanan di banyak daerah masih berubah menjadi kubangan saat hujan datang? Mengapa fasilitas kesehatan dan pendidikan di pelosok masih jauh dari memadai? Pemerataan tidak seharusnya berwujud gedung kaca, tetapi hadir dalam bentuk pelayanan publik yang merata.

Lucunya, biaya perawatan sebesar itu justru dianggap wajar oleh sebagian elite. Seolah rakyat memiliki simpanan tak terbatas yang bisa diambil kapan saja, demi merawat taman dan rumput sintetis yang hanya bisa dikunjungi para pejabat.

Apakah ini wajah kemajuan yang ingin kita rayakan? Gedung mewah dengan AC 16 derajat, sementara di banyak tempat, anak-anak belajar di ruang kelas tanpa atap?

Apakah ini arti kebanggaan nasional? Ketika rakyat harus membayar mimpi para penguasa, tanpa pernah dimintai persetujuan, apalagi diundang merasakannya?

IKN telah menjadi simbol. Bukan hanya simbol ambisi dan gengsi, tetapi juga simbol betapa jauh prioritas negara dari denyut kehidupan rakyat. Sebuah bangunan yang megah di atas fondasi ketimpangan.

Biaya perawatan yang besar itu mungkin baru permulaan. Besok atau lusa, bisa jadi akan hadir pajak baru, pemangkasan subsidi, atau pungutan yang tak kita sadari, demi memastikan rumput taman tetap hijau dan cat gedung tetap mengilap.

Ketika pejabat sibuk menyodorkan progres pembangunan dengan penuh kebanggaan, banyak warga masih berjalan kaki puluhan kilometer demi air bersih. Kita tidak kekurangan beton, tapi kita kekurangan keadilan sosial. Kita tidak kekurangan dana, tapi kita kekurangan empati.

Mimpi sebesar IKN boleh saja dilanjutkan, tapi jangan abaikan siapa yang selama ini menanggung biayanya. Masyarakat tidak butuh taman selfie para pejabat. Yang mereka butuhkan harga pupuk yang terjangkau, gas yang mudah diisi, dan sekolah yang tak roboh saat musim hujan. (*)

Aisyiyah DKI Jakarta Raih Juara II ACC 2025 lewat Bir Pletok

BIR pletok konon hadir sebagai kreativitas masyarakat Betawi merespons minuman beralkohol.  Di masa penjajahan sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang...

More Articles Like This