ADA pagi yang datang seperti tamu tak diundang: dingin, kikuk, dan membuatmu berharap waktu bisa berhenti. Pagi ini salah satunya. Rumah masih sunyi, hanya terdengar suara hujan yang tak henti dari semalam. Seakan langit pun bosan melihat kita terus pura-pura saling ada.
Aku menyiapkan sarapan yang tak pernah kau sentuh lagi. Sepiring nasi, secangkir kopi hitam, dua sendok gula. Rutinitas yang tak lagi punya makna. Kupikir, barangkali aku melakukan semua ini bukan untukmu, tapi untuk mempertahankan kewarasan agar aku masih merasa berguna, meski tak lagi dicintai.
Kau keluar kamar dengan wajah letih, tapi bukan letih karena berjaga semalam. Ada sisa wangi asing di kerah bajumu. Aku menunduk, pura-pura sibuk merapikan taplak meja. Barangkali itu caraku mempertahankan sisa harga diri karena aku tak tahu mana yang lebih menyakitkan: bertanya dan terluka oleh kejujuran, atau diam dan mati perlahan oleh dugaan.
“Kau tak usah repot menyiapkan ini semua,” katamu akhirnya, pelan, seolah iba. Tapi iba itu lebih mengiris daripada hinaan.
“Kalau tak repot, aku tak tahu harus apa,” jawabku tanpa menatapmu.
Kau tak membalas. Kau hanya berdiri beberapa detik, sebelum mengambil kunci mobil dan pergi tanpa pamit. Pintu menutup dengan bunyi yang terdengar lebih final dari apa pun yang pernah kita ucapkan.
Aku terduduk di kursi, menatap meja makan yang kini seperti altar kenangan. Di sinilah dulu kita berbagi cerita, berbagi rencana, berbagi cemas saat anak sakit. Kini yang tersisa hanya kursi kosong dan cangkir yang tak pernah kau sentuh lagi.
Aku bangkit perlahan, mengambil album foto dari lemari. Jemariku bergetar saat membuka halaman demi halaman. Wajah kita di hari ulang tahun pertama anak, di pesta kejutan yang kau siapkan diam-diam, di pagi cerah saat kau baru saja menerima promosi kerja.
Semua potret itu kini tampak seperti cuplikan film lama—kisah yang pernah membahagiakan tapi tak bisa kau putar ulang. Kupikir, barangkali kenangan memang diciptakan untuk membeku, supaya kita tak bisa memakainya lagi saat hati mulai kehilangan alasan.
Aku merapikan album itu, menutupnya dengan hati-hati, seakan takut kenangan di dalamnya ikut retak jika aku terburu-buru. Lalu aku duduk di lantai, bersandar di lemari, menatap jendela yang berkabut oleh hujan. Sisa napasku keluar bersama embusan yang berat, menyesakkan dada.
Hari beranjak siang. Aku menelepon anak kita. Suaranya ceria, penuh semangat. Ia bercerita tentang tugas sekolah, tentang teman-teman barunya di asrama. Dalam suaranya, aku mendengar masa kecil yang dulu memenuhi rumah ini dengan tawa tawa yang kini hanya menggema di sudut ingatan.
“Ibu baik-baik saja?” tanyanya di ujung telepon.
Pertanyaan itu membuat mataku panas. Karena aku tak ingin membohonginya, tapi juga tak sanggup membuatnya cemas.
“Ibu baik,” jawabku, dengan suara yang berusaha terdengar mantap. “Ibu hanya… kangen.”
Seketika telepon hening beberapa detik. Lalu ia menjawab, “Aku juga kangen, Bu.”
Aku menutup telepon perlahan. Tangan gemetar. Ada saat-saat di mana yang paling menyakitkan bukan kehilangan orang yang kau cintai, tapi kehilangan dirimu sendiri. Dan aku merasa, setiap hari aku sedikit demi sedikit kehilangan diriku perempuan yang dulu yakin pada janji, yakin pada rumah, yakin pada kita.
Menjelang senja, aku berdiri di depan cermin. Menatap wajah yang tampak lebih tua dari usianya. Rambutku mulai beruban di sisi pelipis. Mata yang dulu bersinar kini meredup. Barangkali beginilah akhir cinta yang tak lagi kau rawat: ia tak meledak, tak membakar, hanya perlahan berubah menjadi dingin yang tak bisa kau hangatkan lagi.
Saat malam turun, kau pulang tanpa suara. Kau duduk di kursi ruang tamu, menatap lantai seakan ada jawaban di antara ubin yang retak. Aku berdiri di ambang pintu, ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
“Kita ini apa?” tanyaku akhirnya, suara parau, hampir tak terdengar.
Kau mendongak. Wajahmu menua dalam semalam. “Aku pun tak tahu lagi.”
Tak ada kalimat yang lebih menakutkan daripada itu. Karena kebencian masih bisa disembuhkan, tapi ketidakpastian hanya akan menumbuhkan jurang yang tak bisa dijembatani.
Hujan kian deras. Di luar, lampu-lampu tetangga menyala temaram. Di dalam, kita hanya dua orang yang duduk berseberangan, saling menunggu siapa yang akan lebih dulu menyerah.
Dan aku pun bertanya dalam hati berapa lama lagi kita akan saling menatap tanpa benar-benar melihat? Berapa lama kenangan ini akan tetap membeku, sampai akhirnya semuanya mati? (*)
(Bersambung seri ke-10: Perpisahan yang Tak Pernah Diumumkan)