JAKARTAMU.COM | Pada saat awal kedatangan Islam, hubungan kaum muslimin dengan kaum Nasrani cukup harmonis. Hal itu berbeda dengan hubungan kaum muslimin dengan kaum Yahudi.
Pada saat kaum Kristen memenangkan perang melawan Majusi (Zoroaster), ketika pasukan Heraklius berhasil mengalahkan Persia dan melumpuhkan tentara Kisra, umat Islam ikut bersuka cita.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul “Sejarah Hidup Muhammad” (Pustaka Jaya, 1980) menceritakan saat itu, Persia menguasai Jazirah Arab bagian selatan setelah berhasil mengusir pasukan Abisinia dari Yaman.
Pada tahun 614, Kisra mengirim panglimanya, Syahravaraz, untuk menyerang Romawi. Dalam pertempuran di Adhri’at dan Bushra, dekat wilayah Syam dan Arab, pasukan Romawi dikalahkan. Banyak yang terbunuh, kota-kota dihancurkan, dan kebun zaitun dirusak.
Masyarakat Arab, terutama penduduk Makkah, mengikuti perkembangan perang itu dengan cermat. Dua kekuatan besar yang saling bertempur ini menjadi perhatian utama dunia saat itu.
Beberapa wilayah Arab berada di bawah kekuasaan Persia, sementara lainnya berbatasan langsung dengan Romawi. Kaum musyrik Makkah bergembira melihat kekalahan Romawi, karena mereka adalah Ahli Kitab seperti kaum Muslimin. Mereka menganggap kekalahan itu sebagai tanda lemahnya ajaran yang juga dianut umat Islam.
Sebaliknya, kaum Muslimin merasa sedih karena Romawi, sebagai sesama Ahli Kitab, dikalahkan oleh bangsa Majusi. Rasulullah dan para sahabatnya tidak mengharapkan kemenangan pihak Persia. Perselisihan ini menimbulkan perdebatan antara kaum Muslimin dan kaum kafir Mekah. Bahkan, beberapa orang musyrik menyatakan kegembiraannya di hadapan Abu Bakr, yang membalas dengan ucapan: “Jangan terlalu cepat bergembira; Romawi akan membalas.”
Abu Bakar, yang dikenal tenang dan lemah lembut, marah atas ejekan itu dan berkata, “Engkaulah musuh Tuhan yang berdusta!”
Ia kemudian bertaruh sepuluh ekor unta bahwa Romawi akan mengalahkan Persia dalam waktu setahun. Ketika Nabi Muhammad mengetahui adanya taruhan ini, beliau menasihati Abu Bakr untuk memperpanjang waktunya dan menambah jumlah taruhan.
Abu Bakar kemudian meningkatkan taruhannya menjadi seratus ekor unta, dengan jangka waktu kurang dari sembilan tahun.
Pada tahun 625, Heraklius berhasil mengalahkan Persia. Wilayah Syam berhasil direbut kembali, dan Salib Besar pun berhasil dikembalikan. Dalam taruhan itu, Abu Bakar menang. Sebagai bentuk nubuat atas kemenangan ini, turunlah wahyu Allah dalam Surah Ar-Rum:
“Alif-Lam-Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat; dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun. Kepunyaan Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan pada hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman. Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Itulah) janji Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 1–6)
Kemenangan Heraklius dan pasukan Kristen itu disambut gembira oleh kaum Muslimin. Hubungan antara umat Islam dan penganut Isa (Nasrani) selama hidup Nabi cukup erat, meskipun kadang terjadi perdebatan di antara mereka.
Hal ini berbeda dengan hubungan umat Islam dan kaum Yahudi, yang awalnya damai, namun kemudian berkembang menjadi permusuhan yang panjang. Konflik ini meninggalkan luka yang dalam dan berujung pada pengusiran kaum Yahudi dari seluruh Jazirah Arab.
Firman Allah membenarkan hal ini:
“Pasti kamu akan dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan pasti kamu akan dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al-Ma’idah: 82)