Selasa, Mei 13, 2025
No menu items!

Tantangan Paling Sulit untuk Bersikap Wara’

Must Read

DALAM kehidupan ini, seringkali kita merasa telah banyak beramal, menghindari maksiat besar, dan menjauhi perbuatan tercela. Namun, ketika datang kepada urusan wara’, yaitu menjaga diri dari segala sesuatu yang bisa menjerumuskan ke dalam dosa atau menyebabkan celaka di akhirat, ternyata ada satu hal yang paling sulit dijaga: lisan.

Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar dan ahli zuhud dari generasi tabi’ut tabi’in, pernah ditanya tentang apakah bentuk wara’ yang paling sulit. Beliau menjawab dengan satu kata yang singkat namun menghentak kesadaran: اللِّسَانُ )lidah), sebagaimana diriwayatkan dalam al-Wara’ karya Ibnu Abid Dunya)

Jawaban ini seharusnya membuat kita merenung dalam-dalam. Betapa lidah adalah anggota tubuh yang ringan, tidak bertulang, tapi memiliki potensi dosa yang tak terhingga. Ia bisa menjadi penyebab kehancuran amal, permusuhan antar saudara, bahkan sebab siksa yang panjang di akhirat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

“Bukankah manusia dijerumuskan ke dalam neraka di atas wajah mereka, kecuali karena hasil dari (ucapan) lisan mereka?” (HR. At-Tirmidzi, no. 2616)

Lisan adalah jembatan antara hati dan perbuatan. Lisan yang tidak dijaga adalah gerbang segala bentuk maksiat verbal: ghibah, namimah, mencela, menghina, berbohong, bersumpah palsu, menghasut, bahkan mengucapkan syirik. Ironisnya, banyak orang yang sanggup menahan diri dari zina, mencuri, judi, atau membunuh, namun tak mampu menahan lidahnya dari membicarakan aib saudaranya sendiri. Mereka seolah merasa ringan melakukannya, padahal dosanya berat.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Ayat ini bukan hanya peringatan, melainkan tamparan. Allah menggambarkan perbuatan ghibah seperti memakan daging mayat saudaramu sendiri. Betapa menjijikkan. Namun, alangkah banyaknya kaum Muslimin yang tetap memakannya—di ruang keluarga, di warung kopi, di grup WhatsApp, bahkan di majelis ilmu.

Imam Ghazali rahimahullah menjelaskan dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa ada banyak bentuk dosa lisan yang tersembunyi, yang kadang tidak kita sadari. Bahkan menyampaikan kebenaran dengan niat merendahkan atau menyindir pun bisa tergelincir menjadi dosa.

Karenanya, orang yang selamat adalah orang yang mampu menjaga lisannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diam, dalam banyak keadaan, lebih selamat daripada berbicara. Namun diam bukan berarti pasif atau tidak peduli. Diam di sini adalah memilih untuk tidak berkata kecuali yang benar, bermanfaat, dan membawa maslahat. Itulah wara’ sejati.

Syekh Ibn Rajab berkata: “Di antara tanda ketakwaan seseorang adalah ketika ia semakin sedikit berbicara dan semakin banyak berzikir serta introspeksi.” Betapa benar. Sebab, setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban.

Allah Ta’ala berfirman:

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)

Tidak ada kata yang tak tercatat. Setiap gumaman, ocehan, cuitan, bahkan bisikan hati yang berubah menjadi ucapan—semua menjadi catatan. Maka jika lidah kita tidak mampu menyelamatkan kita, ia akan menjadi saksi yang memberatkan di hadapan Allah kelak.

Wara’ bukan hanya menjauhi haram, tapi juga syubhat, dan bahkan yang mubah jika membawa mudarat. Orang yang wara’ akan bertanya pada dirinya, “Apakah ini membuatku lebih dekat kepada Allah?” Jika tidak, ia memilih menahan diri. Karena dia tahu, bahwa kata-kata yang diucapkan bisa menjadi peluru yang membunuh pahala atau jaring yang menyeretnya ke neraka.

Maka mari kita pelihara lidah ini. Basahi ia dengan zikir, gunakan ia untuk menyampaikan ilmu, mendamaikan hati, mendoakan kebaikan. Dan ketika ragu, diamlah. Karena diam itu emas, dan kadang lebih bercahaya daripada seribu kata yang tak bermakna.

Semoga Allah menganugerahi kita hati yang takut kepada-Nya dan lisan yang terjaga dari maksiat. Aamiin.

Sahabat Sejati, Lentera Hati

DI antara riuh dunia yang penuh puja, Ada satu jiwa yang diam-diam menjaga. Bukan yang datang kala tawa berbunga, Tapi yang setia...
spot_img
spot_img

More Articles Like This