Sabtu, Juli 12, 2025
No menu items!

Dua Luka dalam Satu Atap (12): Janji yang Akhirnya Kulepaskan

Must Read

MALAM itu, aku terjaga lebih lama dari biasanya. Suara hujan sudah reda, tapi sepi yang tertinggal di rumah ini lebih nyaring dari gemuruh badai mana pun. Kau terlelap di kamar, anak kita tidur di kamarnya sendiri. Sementara aku duduk di kursi tua di sudut ruang tamu, menatap cermin yang menggantung di dinding.

Di dalam pantulan, aku melihat perempuan yang tak lagi kukenal sepenuhnya. Matanya sembab, bahunya merunduk, tangannya menggenggam sisa keberanian yang sudah lama menipis.

Sejak kapan aku menjadi seseorang yang takut pergi hanya karena janji yang dulu kau ucapkan dengan lantang? Sejak kapan kata-kata “selamanya” berubah jadi sel penjara yang tak berdaun jeruji tapi membuatku tak sanggup melangkah?

Aku menunduk lama. Tanganku gemetar saat meraih selembar kertas kosong. Dalam hati, aku tahu malam ini akan berbeda. Ada sesuatu yang harus kulepas—sesuatu yang dulu kukira akan kujaga seumur hidup.

Kutatap jari-jariku sendiri. Ada lingkar emas di sana. Cincin yang dulu kau selipkan dengan mata berair, bersumpah akan selalu mencintaiku apa pun yang terjadi.

“Janji ini tidak akan pudar,” katamu kala itu.

Tapi janji, seperti apa pun indahnya, tetap bisa layu jika tak disirami kejujuran.

Kuputar cincin itu perlahan, seperti seseorang yang meraba bekas luka lama. Tangisku menetes, satu-satu, tanpa isak, hanya diam yang begitu berat.

Dalam ingatanku, berkelebat potongan-potongan masa lalu. Saat pertama kau menatapku di pelaminan, saat kita memeluk bayi kita yang baru lahir, saat kita berpegangan tangan menertawakan utang cicilan rumah yang tak kunjung lunas.

Semua itu pernah nyata. Pernah jadi napas. Pernah jadi alasan kita percaya masa depan.

Tapi malam ini, di rumah yang tak lagi berdenyut, aku harus mengakui: tak semua janji layak terus dihidupkan.

Kupandangi cincin itu untuk terakhir kali sebelum meletakkannya di meja, di atas kain renda yang dulu kubeli untuk taplak. Tangan ini gemetar, bukan karena benci, tapi karena kehilangan.

Bukan kehilanganmu—karena kau sudah lama pergi meski jasadmu masih di sini. Tapi kehilangan keyakinan pada ikatan yang dulu kupikir akan sanggup menahan apa pun.

Selesai meletakkan cincin, aku meraih buku catatan di laci. Kubuka halaman paling belakang, menulis perlahan:

Aku sudah mencoba sekuat mungkin. Tapi apa artinya mempertahankan rumah yang hanya jadi tempat dua orang menyembunyikan luka?

Aku lelah membisikkan doa pada pintu yang tak lagi terbuka.

Aku menyerah. Bukan karena aku tak mencintai lagi, tapi karena aku mencintai diriku sendiri yang sudah lama kau abaikan.

Kuketuk halaman itu dengan ujung jariku, memastikan tinta tak luntur. Lalu aku menutup buku, meletakkannya di samping cincin.

Sejenak aku berdiri, memejamkan mata. Ada hening yang menyesakkan, tapi juga memerdekakan. Barangkali begini rasanya melepas janji yang sudah terlalu berat dipanggul sendirian.

Kupandangi kamar yang pintunya masih setengah terbuka. Kau terlelap di dalam, mungkin tak menyadari apa pun. Dan aku pun tak ingin membangunkanmu. Karena tak ada yang perlu dijelaskan malam ini.

Janji itu sudah kulepaskan. Dan itu saja sudah cukup melelahkan.

Aku berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirai. Udara dingin menyerbu masuk, membuat bulu kuduk meremang. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa napas ini lebih lapang.

Aku menoleh ke meja, ke arah cincin yang kini tak lagi melingkar di jari. Ada pedih yang menancap pelan, tapi juga kelegaan yang merayap seperti cahaya pertama setelah malam panjang.

Dan aku pun berdiri di sana, di batas antara masa lalu dan masa depan, tanpa tahu apa yang menunggu esok hari.

Yang kutahu, malam ini aku akhirnya merelakan. Janji yang dulu jadi satu-satunya alasan untuk bertahan, kini kupulangkan pada waktu.

Karena mungkin, di balik semua perpisahan yang sunyi, ada kebebasan yang menunggu untuk disambut.

(Bersambung seri ke-13: Saat Rumah Tak Lagi Pulang)

Biar Orang Miskin Tak Ketagihan Bansos, BP Taskin Gagas 9 ”Amal Usaha”

JAKARTAMU.COM | Strategi nasional untuk mengentaskan kemiskinan akan bergeser dari pola bantuan konsumtif menjadi pembangunan ekonomi berbasis produktivitas. Kepala...

More Articles Like This