LANGKAH Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto menimbulkan hentakan politik yang tak kecil. Meskipun secara konstitusional tindakan ini sah sebagai bagian dari hak prerogatif presiden, substansi dan timing kebijakan tersebut menyisakan pertanyaan etik dan menantang narasi awal pemerintahan Prabowo: bersih, tegas, dan berpihak kepada hukum.
Pemerintah menyampaikan bahwa keputusan ini didasari semangat persatuan, stabilitas, dan kerja sama seluruh elemen bangsa. Tentu, menjaga harmoni politik di awal pemerintahan penting, terlebih setelah pemilu yang memunculkan polarisasi tajam. Namun apakah harmoni itu harus ditebus dengan kompromi atas prinsip keadilan?
Perlu ditegaskan, baik Tom Lembong maupun Hasto Kristiyanto terjerat kasus korupsi. Meskipun terdapat argumen hukum, seperti tidak adanya niat jahat dalam kasus Tom dan status banding yang masih berjalan, fakta bahwa mereka adalah figur politik dari kubu lawan Prabowo dalam Pilpres 2024 membuat keputusan ini sarat nuansa politis. Tak heran banyak pihak menilai bahwa amnesti dan abolisi ini lebih merupakan manuver politik ketimbang pertimbangan hukum murni.
Langkah ini dapat dibaca sebagai sinyal bahwa Prabowo ingin menjadi presiden bagi semua, bukan hanya bagi pemilihnya. Gestur ini menunjukkan semangat rekonsiliasi dan pengurangan ketegangan politik. Tapi dalam demokrasi yang sehat, rekonsiliasi semestinya tidak mengorbankan rasa keadilan publik.
Risiko besar dari kebijakan ini adalah mencederai komitmen pemberantasan korupsi. Jika dua tokoh yang tengah menjalani proses hukum dalam kasus korupsi dibebaskan dengan dalih persatuan, bagaimana nasib ribuan kasus serupa lainnya yang melibatkan nama-nama tak punya afiliasi politik? Di sinilah titik krusialnya: negara tidak boleh memberikan impresi bahwa hukum bisa dinegosiasikan atas nama stabilitas.
Kritik keras dari sejumlah pihak menunjukkan bahwa keputusan ini menimbulkan keprihatinan serius di kalangan pegiat antikorupsi dan komunitas hukum. Kekhawatiran tentang penyalahgunaan instrumen amnesti dan abolisi bukan isapan jempol. Bila tak diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas, langkah ini bisa menjadi preseden buruk bagi hukum dan demokrasi kita.
Lebih lanjut, jika niat pemerintah memang tulus demi rekonsiliasi nasional, semestinya dibarengi pula dengan komunikasi publik yang terbuka dan argumentasi hukum yang kokoh. Presiden harus menjelaskan secara gamblang dasar pemberian pengampunan ini, bukan hanya melalui juru bicara atau pernyataan DPR. Keterbukaan adalah prasyarat mutlak untuk membangun kepercayaan publik.
Presiden Prabowo tengah mengawali masa jabatannya dengan langkah yang penuh risiko. Jika berhasil membuktikan bahwa keputusan ini didasari integritas dan semangat keadilan yang utuh, ia akan memperoleh kepercayaan yang lebih besar. Namun jika publik melihat ini hanya sebagai kalkulasi politik demi merangkul lawan, Prabowo akan memulai kepemimpinannya dengan warisan keraguan yang tidak mudah dihapus.
Keadilan tidak boleh dikorbankan atas nama persatuan. Persatuan yang sejati justru lahir dari tegaknya keadilan bagi semua. Presiden harus membuktikan bahwa dirinya bukan hanya pemimpin yang merangkul semua kubu, tetapi juga penjaga prinsip yang tidak bisa dibeli oleh kompromi politik.