Selasa, Juni 17, 2025
No menu items!

Aceh Darussalam, Jejak Sejarah Negeri Ulama Patriot

Must Read

INILAH negeri di ujung utara Sumatera, bagian barat Republik Indonesia yang kokoh dan terhormat menjaga Islam sebagai landasan hidup bermasyarakat dan bernegara. Republik Indonesia mengakui itu sebagai keistimewaan, di mana Islam menyejarahi tumpah darah dan menghidupi sejarahnya punya kedudukan sejarah dalam tumpah darah hidupnya.

Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945, Aceh melalui Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) beserta rakyat di Negeri Serambi Mekkah itu dengan segera mendukung, menyatakan diri sebagai bagian dari keutuhan Republik. Mengapa para ulama yang berdiri paling depan membela patriotisme? Mengapa pula para ulama lebih di depan ketimbang para bangsawan dalam menyikapi kemerdekaan Indonesia?

Lihatlah, ekspedisi militer pemerintah Hindia Belanda gagal di hadapan rakyat Aceh. Dengan tiga ribuan serdadu, termasuk ratusan serdadu pribumi di dalamnya (Jawa, Ambon, Manado dll) Belanda harus menelan kekalahan yang pahit. Bahkan, sang Jenderal Kohler dihabisi di bawah pohon Kelumpang, di depan Masjid Baiturrahim Aceh di Kutaraja (kini Banda Aceh). Sejak mendarat di pesisir barat Aceh, serdadu kolonialis, imperialis, sekaligus kafir itu sudah porakporanda dihantam meriam Aceh.

Penggalan kisah itu menunjukkan kehebatan Aceh yang berdaulat dan bermartabat. Aceh diakui sebagai kerajaan yang menegara dan membangsa, juga menginternasional oleh Barat dan Ottoman. Aceh melakukan pendidikan militer, menjalin hubungan internasional dan mensejahterakan rakyatnya. Kemampuan Aceh melawan rangkaian misi militer sejak Portugis, Inggris, dan Belanda tak akan dilupakan oleh sejarah.

Aceh berjaya pada abad 14 di bawah Dinasti Sultan Iskandar Muda di Samudera Pasai. Sementara keagungan Majapahit telah berantakan berkeping-keping. Kebesaran Sriwijaya pun hilang tak berbekas, kecuali ditunjukkan beberapa candi di Jambi. Aceh bersahabat dan tunduk kepada Majapahit sejak 1200-an bahkan mengirim salah satu putrinya, dan adik sang putri (kelak bergelar Sunan Ampel) sebagai salah satu dari sekian isteri Brawijaya V.

Kerja sama itu berlanjut dengan persekutuan Demak-Samudera Pasai dan Johor pada 1511-1530 yang bergerak mengusir Portugis di Semenanjung Melayu.

Sebagaimana diketahui, pada masa Iskandar Muda ini, wilayah Aceh meluas hingga sebagian Malaka (Kedah, Perlak, dan Johor), termasuk pulau wilayah Riau lautan dan sebagain daratannya.

Nah, mengapa ulama menjadi tumpuan kekuatan politik Aceh? Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang berpura-pura masuk Islam, pernah menyatakan: “Hentikan pendekatan kepada para bangsawan (Teuku), beralihlah untuk menguasai para ulama (Tengku).” Pernyataan itu mencerminkan pengakuan atas pengaruh besar ulama dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Strategi ini kemudian diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, termasuk oleh militer Belanda di bawah arahan Snouck Hurgronje. Islamolog itu menjadi panutan para politikus yang fobia terhadap Islam. Strateginya jelas: bangunlah masjid, biarkan umat beribadah, awasi bila mereka berdakwah tentang sosial, pendidikan, dan kesehatan. Namun, basmi jika mereka mulai berpolitik.

Van Heutsz, agen kolonial Hindia Belanda, akhirnya dikirim untuk melaksanakan kebijakan itu. Mereka mengklaim telah menundukkan Aceh antara tahun 1874 hingga 1903. Namun penaklukan itu berlangsung dalam perang yang panjang, berdarah, dan sangat memberatkan keuangan Belanda.

Kendati demikian, klaim penaklukan itu tak pernah benar-benar berlaku dalam alam pikir dan kehidupan masyarakat Aceh. Di meunasah, madrasah, dan komunitas-komunitas di luar Kutaraja (kini Banda Aceh), para ulama dan rakyat terus melawan hingga kemerdekaan Indonesia. Ketika Jepang menaklukkan Belanda dalam Perang Dunia II—dengan mengandalkan para raja dan hulubalang lokal yang sebelumnya terkooptasi kolonialisme—para tokoh ulama Aceh seperti Daud Beureu’eh dan para pimpinan PUSA pun bersyukur atas karunia Allah SWT dan memutuskan bergabung dengan Republik Indonesia. Bahkan, Aceh menyumbangkan pesawat terbang pertama milik Indonesia: Seulawah.

Pengakuan dan penggabungan diri itu tidak hanya dilakukan oleh Aceh, tetapi juga oleh empat kerajaan pewaris Mataram Islam: Kasultanan Yogyakarta (Hamengku Buwono IX), Pakualaman VIII, Kasunanan Surakarta (Pakubuwono XII), dan Kadipaten Mangkunegaran (Mangkunegoro VII). Inilah yang kemudian diakui sebagai bagian dari keistimewaan. Selain para Raja Jawa yang memegang gelar Senopati Ing Ngalaga Khalifatullah Sayidin Panatagama, Aceh telah lama dikenal dunia internasional sebagai wilayah yang menjunjung tinggi jihad fi sabilillah dalam menegakkan Islam—bukan hanya untuk Aceh, melainkan juga untuk Indonesia. (*)

Pemerintah Tegaskan Status Administratif Empat Pulau Masuk Wilayah Aceh

JAKARTAMU.COM | Pemerintah, melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, pada Selasa (17/6/2025), telah mengumumkan keputusan resmi terkait polemik...
spot_img
spot_img

More Articles Like This