Selasa, Juni 17, 2025
No menu items!

Di Mata Jalut, Sejarah Berbalik Arah: Kemenangan Islam Melawan Mongol di Palestina

Ketika pedang Mamluk, doa Sarah, dan takdir peradaban Islam bertemu dalam satu palagan bernama Ayn Jalut.

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Palestina, musim panas 1260. Di mata air bernama Ayn Jalut, sejarah berubah jalur. Di sanalah untuk pertama kalinya, mesin perang Kekaisaran Mongol yang tampak tak terkalahkan sejak menumbangkan Baghdad dipukul mundur secara telak. Tak hanya mundur, tapi runtuh dalam sebuah pertempuran yang disaksikan padang rumput Lembah Yizreel, di jantung bumi para nabi.

Kabar itu menyebar ke seluruh jazirah: Mongol kalah. Dan bukan sembarang kekalahan, tapi sebuah kekalahan telak dari pasukan Muslim yang bahkan tak memiliki dukungan penuh dari dunia Islam sendiri. Yang berdiri di garis depan ialah Mamluk, kerajaan baru yang masih muda, lahir dari sisa-sisa Ayyubiyah, dengan panglima perang yang nyaris tak dikenal: Sayfuddin Qutuz.

Konstelasi Kekuasaan dan Peradaban

Sejarah dunia Islam pada pertengahan abad ke-13 memang sedang dalam pusaran kekacauan. Dinasti Abbasiyah baru saja diratakan oleh Hulagu Khan, saudara kandung Mongke, Khan Agung Mongol. Baghdad, pusat peradaban Islam selama lima abad, terbakar dan ditumpahkan darah para ulama serta rakyatnya. Perpustakaan legendaris di Tigris musnah, tinta kitab bercampur dengan darah syuhada.

Di saat bersamaan, Tentara Salib dari Eropa Barat masih bercokol di pesisir Timur Tengah, mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen seperti Antiokia, Tripoli, dan Yerusalem. Namun mereka tidak bersatu dengan Mongol. Justru karena sama-sama takut pada Mongol, mereka bersikap netral ketika pasukan Mamluk bergerak ke utara untuk menghadang gerombolan pasukan Ketbuqa, jenderal kepercayaan Hulagu.

“Peristiwa Ayn Jalut adalah hasil dari konvergensi ketakutan, kebijaksanaan politik, dan peluang tak terduga,” kata sejarawan militer Arab, Dr. Khalid Yahya.

Pertemuan di Mata Air

Qutuz melihat momentum. Hulagu sedang kembali ke Karakorum karena berita kematian Mongke Khan, berebut tahta dengan adiknya, Kubilai, dan Ariq-Boke. Hulagu membawa sebagian besar pasukannya, menyisakan 20.000 prajurit di bawah Ketbuqa. Bagi Qutuz, inilah waktu emas untuk menyerang.

Di sinilah cerita bergeser dari kekuatan brutal ke kecerdikan dan taktik. Mamluk, yang sudah berpengalaman dalam seni perang karena banyak dari mereka adalah mantan budak militer, menggunakan taktik Mongol sendiri: berpura-pura mundur, lalu menyergap dari belakang bukit.

Mereka juga menggunakan senjata baru: meriam genggam. Senjata yang mungkin diperkenalkan oleh bangsa Mongol sendiri, kini digunakan untuk melawan mereka.

“Ayn Jalut adalah ironi sejarah,” ujar Ahmad Saifuddin dari Lembaga Kajian Sejarah Islam. “Mongol mengajarkan cara bertempur kepada lawannya, dan itulah yang menjatuhkan mereka.”

Akhir Sang Penakluk

Ketbuqa tertangkap hidup. Saat akan dihukum mati, dia justru menantang: “Bunuhlah aku. Tapi kalian akan melihat pembalasan Hulagu.” Qutuz tetap memerintahkan pemenggalan.

Namun yang datang bukanlah Hulagu, melainkan takdir yang lebih besar: perpecahan internal Mongol. Berke Khan, pemimpin Gerombolan Emas di Rusia, telah memeluk Islam dan murka atas pembantaian Baghdad. Ia bersiap menyerang Hulagu dari utara, dan membuat Mongol terpecah belah.

“Ayn Jalut bukan hanya soal kekalahan Mongol,” tulis Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Min al-Qashash an-Nabawi. “Ia adalah titik balik sejarah yang menyelamatkan jantung peradaban Islam dari penghapusan total.”

Doa, Dusta, dan Daya Ilahi

Dalam narasi Islam, kemenangan bukan sekadar soal taktik. Ia juga menyangkut takdir. Dan di titik ini, seolah sejarah berbisik dari masa lebih lampau, dari doa seorang perempuan salehah bernama Sarah, istri Nabi Ibrahim.

Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, diceritakan bagaimana Sarah diselamatkan dari raja fajir di Mesir melalui doa dan perlindungan Ilahi. Dari peristiwa itu, Sarah keluar membawa seorang budak bernama Hajar yang kelak akan menjadi ibu dari Ismail, leluhur Nabi Muhammad.

Silsilah itu terus berlanjut hingga Sayfuddin Qutuz, panglima Mamluk dari kalangan budak, berdiri gagah di padang Ayn Jalut. Sejarah seolah menyusun sendiri mozaiknya: dari raja fajir yang tangannya terkunci oleh doa, hingga imperium Mongol yang tangguh dikalahkan oleh pasukan budak yang dibesarkan dengan iman.

Sejarawan modern sepakat bahwa jika Mongol menang di Ayn Jalut, sejarah Islam, bahkan sejarah dunia, akan sangat berbeda. Tidak akan ada Utsmani, tidak akan ada peradaban Islam di Andalusia yang bangkit, dan mungkin tidak akan ada Renaisans Eropa yang terinspirasi ilmu-ilmu Arab.

Ayn Jalut adalah lebih dari sebuah kemenangan militer. Ia adalah titik balik sejarah, ketika Allah mengubah arah zaman lewat tangan budak yang taat, taktik Mongol yang dibalikkan, dan keberanian seorang panglima yang menolak tunduk pada surat ancaman.

Seperti kata Qutuz kepada pasukannya sebelum perang: “Jika kita mundur hari ini, maka tak akan ada lagi tempat bagi Islam besok.”

Dan mereka pun maju. Dan menang.

Pemerintah Tegaskan Status Administratif Empat Pulau Masuk Wilayah Aceh

JAKARTAMU.COM | Pemerintah, melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, pada Selasa (17/6/2025), telah mengumumkan keputusan resmi terkait polemik...
spot_img
spot_img

More Articles Like This