JAKARTAMU.COM | Perlukah bukti tentang adanya hari akhir? Kehidupan sesudah mati adalah sebuah keniscayaan. Bukankah makhluk yang termulia adalah makhluk yang memiliki jiwa? Dan bukankah yang paling mulia di antara mereka adalah yang memiliki kehendak serta kebebasan memilih? Lebih mulia lagi adalah mereka yang mampu memikirkan masa depan serta mempertimbangkan dampak dari kehendak dan pilihannya.
“Demikian logika kita berbicara,” ujar Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran“. Dari sinilah, lanjutnya, jiwa manusia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru:
Sudahkah semua orang melihat dan merasakan akibat dari perbuatan-perbuatannya yang didasarkan atas kehendak dan pilihannya? Sudahkah orang yang berbuat baik memetik hasil kebaikannya? Sudahkah pelaku kejahatan menerima ganjaran atas keburukannya?
“Jelas jawabannya adalah belum,” ujarnya. Betapa banyak manusia baik yang justru dicambuk kehidupan dengan cobaan, dan betapa banyak pula orang jahat yang seolah disuapi dunia dengan kenikmatan.
“Kemah-kemah para perusak sangat menyenangkan. Mereka yang mendurhakai Tuhan (tampak) tenang. Ini semua kulihat, kudengar, dan kuketahui sepenuhnya.”
Demikian keluhan Nabi Ayyub a.s. yang mengalami pahitnya kehidupan.
Maka, demi tegaknya keadilan, harus ada kehidupan lain di mana setiap orang mendapatkan hasil perbuatannya secara adil dan sempurna. Karena itulah Al-Qur’an menyebut kehidupan akhirat dengan istilah al-hayawan—yang berarti “kehidupan yang sempurna”—dan menyebut kematian sebagai wafat, yang secara harfiah berarti “kesempurnaan”.
Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal ini, di antaranya:
“Sesungguhnya saat (hari kiamat) itu pasti akan datang. Aku sengaja merahasiakan waktunya agar setiap jiwa dibalas sesuai dengan amalnya.” (QS Thaha [20]: 15)
“Orang-orang kafir berkata: ‘Hari kebangkitan tidak akan datang kepada kami.’ Katakanlah: ‘Pasti datang. Demi Tuhanku yang mengetahui yang gaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sebesar zarrah pun di langit dan di bumi, dan tidak ada pula yang lebih kecil atau lebih besar melainkan semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh), supaya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka mendapat ampunan dan rezeki yang mulia. Dan orang-orang yang berusaha menentang ayat-ayat Kami, mereka akan mendapatkan azab yang sangat pedih.” (QS Saba’ [34]: 3–5)
Memang, ada orang-orang yang tidak sabar dan ingin segera menyaksikan pembalasan itu di dunia ini juga. Namun, mereka lupa bahwa hidup dan mati adalah ujian:
(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS Al-Mulk [67]: 2)
Kalau balasan diberikan segera, di mana letak ujiannya? Bukankah ujian justru mengharuskan adanya waktu penantian?
Meski manusia bisa menyadari hal ini, Al-Qur’an tetap menyampaikan dalil-dalil logis untuk membungkam keraguan mereka. Berikut beberapa di antaranya:
- Dalil Penciptaan Awal
Dalam surat Ya Sin (36): 78–83, Allah berfirman:
“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan lupa kepada asal kejadiannya. Ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?’ Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali. Dia Maha Mengetahui segala makhluk.’
Filsuf Muslim Al-Kindi, sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Mahmud dalam At-Tafkir Al-Falsafi Al-Islami, menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat ini:
(a) Menghidupkan kembali sesuatu yang telah hancur adalah mungkin. Bahkan, menghimpun yang telah terpisah lebih mudah daripada menciptakan sesuatu dari ketiadaan—meski bagi Allah, tidak ada istilah “lebih mudah” atau “lebih sulit”.
(b) Wujud dapat berasal dari sumber yang berlawanan, sebagaimana api yang muncul dari kayu hijau.
(c) Menciptakan manusia lebih mudah daripada menciptakan alam semesta dari ketiadaan.
(d) Allah tidak memerlukan waktu atau materi untuk menciptakan sesuatu. Cukup dengan perintah: “Jadilah,” maka jadilah ia.
- Pendekatan Filosofis untuk Meruntuhkan Keraguan
Surat Al-Isra’ menggambarkan bagaimana orang yang meragukan kebangkitan akhirnya menyadari kebenarannya lewat pendekatan logis:
“Mereka bertanya, ‘Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, masih dapat dibangkitkan?’ Katakanlah: ‘Jadilah kalian batu, besi, atau makhluk yang menurut kalian lebih mustahil lagi untuk diciptakan.’ Lalu mereka akan bertanya, ‘Siapa yang akan menghidupkan kami?’ Katakanlah: ‘Yang menciptakan kamu pertama kali.’…” (QS Al-Isra’ [17]: 49–51)
Ayat ini bukan hanya menjawab pertanyaan, tapi juga membalik logika si penanya. Jika batu atau besi saja bisa dihidupkan, apalagi manusia yang sebelumnya sudah pernah hidup.
- Analogi Hujan dan Tanah Gersang
Surat Al-Hajj menggunakan perumpamaan hujan yang menyuburkan tanah gersang untuk menjelaskan kebangkitan:
“Dan kamu lihat bumi itu tandus. Lalu apabila Kami turunkan air, hiduplah bumi itu dan tumbuhlah berbagai tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan hari kiamat pasti datang…” (QS Al-Hajj [22]: 5–7)
Bukankah manusia berasal dari tanah? Dan setelah mati pun kembali menjadi tanah. Maka tidak mustahil bagi Allah untuk menghidupkannya kembali, sebagaimana tanah yang mati menjadi subur karena air hujan.
- Kematian Disamakan dengan Tidur
Al-Qur’an menyamakan kematian dengan tidur:
“Allah memegang jiwa (orang) saat kematiannya, dan (memegang) yang belum mati pada saat tidurnya. Dia menahan jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya, dan melepaskan yang lain sampai waktu yang ditentukan…” (QS Az-Zumar [39]: 42)
Sebagai contoh, dalam QS Al-Baqarah [2]: 259, disebutkan seseorang yang ditidurkan oleh Allah selama seratus tahun, kemudian dibangunkan kembali.
Juga dalam surat Al-Kahf [18]: 9–26, diceritakan sekelompok pemuda yang tidur selama lebih dari tiga ratus tahun. Tempat gua mereka, yang terletak di dekat Amman, Yordania, kini menjadi objek wisata religi.
Demikianlah beberapa bukti dan dalil yang dikemukakan Al-Qur’an untuk menghilangkan keraguan tentang adanya hari kebangkitan. Semua itu disampaikan tidak hanya untuk membungkam penyangkalan, tetapi juga untuk mengajak manusia berpikir dan menemukan kebenaran melalui akalnya.