SUASANA di desa semakin mencekam setelah pengumuman proyek strategis nasional itu disebarluaskan. Seolah menjadi tanda bahaya, aparat keamanan mulai sering terlihat di sekitar desa, berjaga dengan alasan “menjaga ketertiban.” Namun, warga tahu betul tujuan sebenarnya: mengawasi dan menekan mereka agar menyerah.
Di rumah Pak Dahlan, para tokoh desa berkumpul kembali. Wajah-wajah mereka tampak lelah, namun api perlawanan masih menyala.
“Kita harus menuntut transparansi,” ujar Rina, membuka percakapan. “Keputusan ini dibuat tanpa konsultasi dengan warga. Itu cacat hukum.”
Pak Umar mengangguk. “Betul. Tapi kita juga harus bersiap. Mereka tak akan peduli dengan hukum jika sudah punya rencana besar.”
“Yang kita perlukan adalah tekanan lebih besar,” tambah Hasan. “Kita harus buat ini semakin ramai di media. Kita punya video, bukti ancaman, dan suara warga. Kita manfaatkan itu.”
Rina mengambil napas panjang. “Aku sudah menghubungi beberapa jurnalis independen. Mereka tertarik untuk meliput, tapi mereka juga butuh jaminan keamanan.”
Pak Dahlan menatap semua yang hadir. “Baik. Kita teruskan perlawanan ini dengan dua jalur: jalur hukum dan jalur opini publik. Kita tidak boleh kalah sebelum bertarung.”
Keesokan harinya, suasana desa terasa berbeda. Ada yang bergerak di balik layar. Sejumlah orang asing mulai berkeliaran, memantau aktivitas warga. Mereka bukan dari desa ini, dan jelas bukan wartawan yang dijanjikan Rina.
“Saya merasa diawasi,” bisik Mak Sumi saat bertemu Rina di pasar. “Ada beberapa orang yang selalu berada di dekat saya, memperhatikan apa yang saya katakan.”
Rina mengangguk. “Mereka sudah mulai bergerak untuk menekan kita.”
Di tempat lain, Hasan dan Rifki yang tengah merekam aktivitas warga dihampiri dua pria berbadan tegap.
“Kalian merekam apa?” tanya salah seorang pria itu dengan suara dingin.
Hasan mencoba bersikap tenang. “Kami hanya mendokumentasikan kehidupan di desa.”
Salah satu pria mendekat, merampas ponsel Hasan dan memeriksa isinya. “Hapus video terakhir,” perintahnya.
Hasan menelan ludah, tapi tetap teguh. “Ini hak kami.”
Tangan pria itu bergerak cepat, merampas ponsel dan membantingnya ke tanah.
“Kalian tak akan menang,” ucapnya sebelum pergi.
Hasan mengepalkan tinju, menahan amarah.
Di balai desa, Pak Surya tak bisa mengelak lagi. Kedatangannya ke rumah Arief malam itu membawa konsekuensi besar.
“Saya sudah melakukan bagian saya,” ujarnya pelan. “Sekarang giliran kalian menepati janji.”
Arief tertawa kecil. “Tentu saja, Pak Surya. Seperti yang saya katakan, selama Anda tetap mengikuti permainan ini, posisi Anda aman.”
Pak Surya menatap pria itu dengan ragu. “Jangan terlalu keras pada warga. Mereka hanya ingin bertahan.”
Arief tersenyum. “Kita semua ingin bertahan, Pak Surya. Tapi ada yang harus berkorban agar yang lain bisa maju.”
Pak Surya tahu bahwa kata-kata itu bukan sekadar ucapan kosong.
Di desa, tekanan semakin meningkat. Preman-preman yang sebelumnya datang malam hari kini mulai beroperasi terang-terangan. Mereka berjalan dengan santai, namun penuh ancaman.
Rina menerima pesan dari seorang jurnalis yang seharusnya datang ke desa.
“Kami disarankan untuk tidak meliput. Ada tekanan dari pihak tertentu.”
Rina menghela napas berat. Satu per satu pintu bantuan mulai tertutup.
Sementara itu, di rumahnya, Pak Dahlan menerima tamu tak terduga.
Seorang pria paruh baya, berpakaian rapi, datang membawa selembar dokumen. Ia memperkenalkan dirinya sebagai perwakilan perusahaan yang hendak mengembangkan proyek reklamasi.
“Saya tidak datang untuk mengancam, Pak Dahlan,” katanya dengan nada sopan. “Saya datang membawa solusi.”
Pak Dahlan menyilangkan tangan di dada. “Solusi apa?”
“Perusahaan kami bersedia memberi kompensasi lebih besar bagi warga yang mau pindah. Jauh lebih besar dari yang ditawarkan sebelumnya.”
Pak Dahlan menatap pria itu dengan tajam. “Kalau memang niat kalian baik, kenapa harus menggunakan cara-cara kotor?”
Pria itu tersenyum kecil. “Kadang, kepentingan besar membutuhkan pengorbanan kecil.”
Pak Dahlan berdiri, menatap pria itu dengan tegas. “Saya akan membicarakan ini dengan warga. Tapi jangan berharap kami menyerah begitu saja.”
Pria itu tersenyum dan menyerahkan kartu namanya sebelum pergi.
Setelah pria itu pergi, Pak Dahlan duduk diam. Ia tahu tawaran ini bukan sekadar ‘solusi.’ Ini adalah cara lain untuk memecah belah perlawanan.
Sore itu, desa kembali memanas.
Beberapa warga yang mulai merasa takut dengan intimidasi memilih untuk menerima kompensasi yang ditawarkan. Mereka diam-diam mendatangi balai desa untuk menandatangani kesepakatan.
Saat kabar itu sampai ke telinga warga lainnya, kemarahan pun pecah.
“Kalian menyerah begitu saja?” teriak Hasan saat melihat beberapa warga membawa barang-barang mereka untuk pindah.
“Maaf, Hasan,” ujar seorang pria tua. “Kami punya anak-anak yang harus diberi makan. Kami tak bisa terus hidup dalam ketakutan.”
Hasan hanya bisa menatap mereka dengan kecewa.
Pak Umar mendekati Hasan dan menepuk bahunya. “Jangan salahkan mereka. Tak semua orang bisa bertahan dalam tekanan seperti ini.”
Namun di sisi lain, ini adalah pukulan telak bagi perjuangan mereka.
Di kejauhan, Arief tersenyum puas saat melihat beberapa rumah mulai kosong. Ia tahu, mereka tidak perlu selalu menggunakan kekerasan. Kadang, cukup dengan ketakutan dan sedikit iming-iming uang, pertahanan bisa runtuh dengan sendirinya.
Pak Dahlan tahu, ini adalah pukulan besar bagi perjuangan mereka. Tapi ia juga tahu, ini belum berakhir.
“Kita tidak boleh mundur,” katanya dengan suara mantap. “Kita harus bertahan sampai akhir.”
Dan saat matahari terbenam, di tengah angin yang membawa aroma laut, warga yang tersisa masih berdiri tegak.
Mereka tahu, badai yang lebih besar sedang menuju ke arah mereka.
(Bersambung ke seri 6: Gelombang Kemarahan)