JIKA tolok ukur rezeki hanyalah lembaran rupiah, sungguh kita telah memiskinkan makna rezeki itu sendiri. Sebab sejatinya, rezeki bukan hanya apa yang tampak di kasat mata, bukan semata angka yang tercetak dalam buku tabungan, atau tumpukan uang yang disimpan rapi di lemari besi. Rezeki itu jauh lebih dalam, lebih halus, dan sering kali tak disadari karena terlalu akrab menghiasi hari.
Bukankah ketenangan hati itu rezeki? Saat kita bisa tidur nyenyak tanpa gelisah memikirkan kebencian, dendam, atau iri pada keberhasilan orang lain, itu adalah anugerah yang tidak bisa dibeli oleh siapapun. Allah Ta’ala berfirman:
﴿هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin.” (QS. Al-Fath: 4)
Istikamah dalam iman adalah rezeki yang tak ternilai. Betapa banyak orang yang dulunya taat, kini menjauh. Betapa banyak yang mengaku cinta agama, tapi tak kuasa menahan godaan dunia. Maka ketika kita masih diberi kemudahan untuk menjaga shalat, menundukkan pandangan, menahan lisan, dan terus berupaya dekat kepada Allah, itu bukan hasil usaha kita semata. Itu rezeki. Rezeki yang datang dari langit karena Allah masih berkenan menjaga kita dalam kebaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ»
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memahamkan orang itu dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lantas, bagaimana dengan kesehatan yang bisa kita rasakan setiap hari? Bisa bernapas tanpa alat bantu, bisa berdiri, berjalan, makan, tersenyum, bahkan sekadar bisa buang air kecil tanpa rasa sakit—itu semua adalah rezeki yang sering kali diremehkan. Padahal ketika satu saja dari nikmat itu dicabut, manusia rela menghabiskan seluruh uangnya demi memulihkannya kembali.
Nabi bersabda:
«مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا»
“Barang siapa di pagi hari merasa aman dalam keluarganya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih)
Teman yang mendekatkan kita pada ketaatan, yang menegur dengan lembut saat kita mulai menjauh dari jalan-Nya, yang mengajak ke majelis ilmu dan bukan sekadar nongkrong tanpa faedah—itu rezeki. Karena tidak semua orang diberi teman seperti itu. Sebagian hanya memiliki relasi dunia yang habis saat harta habis, atau rusak saat jabatan lepas.
Allah berfirman tentang jenis teman yang buruk:
﴿الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ﴾
“Teman-teman akrab pada hari itu akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)
Dan pasangan yang baik, yang mendampingi dalam suka dan duka, yang mengingatkan dalam lelah dan sabar, yang tidak menjadikan rumah sebagai tempat saling menyakiti tapi saling mengobati—itu pun rezeki. Bahkan salah satu bentuk kenikmatan dunia yang paling agung, menurut Nabi, adalah pasangan yang shalih atau shalihah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ»
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)
Apalagi keluarga yang sehat, yang berkumpul bukan karena warisan tapi karena cinta, yang duduk bersama bukan karena kewajiban tapi kerinduan, yang saling mendukung dalam taat dan saling mendoakan kala jauh. Tidakkah itu rezeki paling indah yang tak bisa ditakar dengan logika ekonomi?
Maka, jika seseorang masih mengukur rezeki hanya dengan berapa banyak rupiah yang dimilikinya, ia telah salah memahami hidup. Karena ada orang yang kaya harta tapi miskin jiwa. Ada yang berlimpah materi tapi gersang nurani. Ada yang rumahnya megah tapi tak punya tempat pulang dalam makna sejati.
Rezeki sejati adalah apa yang menenangkan hati, meneguhkan iman, dan mendekatkan pada Rabbul ‘Alamin. Rezeki sejati tidak selalu tampak di layar ponsel atau grafik saldo bank, tapi bisa dirasa oleh hati yang bersyukur.
Karena itu, marilah kita syukuri apa pun yang ada pada diri kita hari ini. Sebab bisa jadi, kita tidak memiliki banyak dalam pandangan dunia, tapi kita sangat kaya di mata langit.
Sebagaimana Allah berjanji:
﴿لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ﴾
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)
Jangan pernah takut dengan rezeki yang belum datang. Tak perlu iri dengan yang tampaknya lebih berkelimpahan. Karena rezeki bukan soal apa yang kita genggam, tapi apa yang membuat kita tetap merasa cukup, tetap dekat dengan Allah, dan tetap bisa tersenyum meski dunia tak sepenuhnya ramah.
Itulah rezeki yang sejati.