Minggu, November 10, 2024
No menu items!

Ketika Dominasi Orang-Orang Turki Jadi Masalah di Daulah Abbasiyah

Pada masa pemerintahan Khalifah al-Radhi (ke-20), untuk membatasi peranan orang Turki diusahakan dengan menambah struktur pemerintahan Daulah Abbasiyah.

Must Read

DAULAH Abbasiyah mengalami kemunduran ditandai dengan menurunnya kekuasaan khalifah di bidang politik. Kerajaan mengalami perpecahan. Politik sentral Khalifah telah berpindah ke daerah-daerah.

Syamruddin Nasution dalam bukunya berjudul “Sejarah Peradaban Islam” menyebut Pemerintahan Daulah Abbasiyah banyak melakukan tindakan yang tidak menyenangkan rakyat sehingga mengakibatkan rakyat menjauhkan diri dari pemerintahan pusat dan mendirikan pemerintahan-pemerntahan kecil di daerah.

Akibatnya, kekuasaan sentral pusat menjadi hilang peranannya kalau tidak diktakan lumpuh, maka Khalifah hanya sebagai lambang belaka.

Akibat dari itu semua Khalifah Abbasiyah yang lemah meminta bantuan kepada Dinasti yang kuat di daerah untuk membantunya mengatasi tekanan Sultan yang telah terlebih dahulu masuk dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.

Tekanan Orang Turki

Sejarah masuknya orang-orang Turki ke dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah diawali dari kebijaksanaan Khalifah al-Makmun yang menunjuk saudaranya al-Muktashim menjadi khalifah sepeninggal beliau.

Ketika itu orang-orang Persia tidak setuju karena mereka berkeinginan agar al-Makmun mengangkat anaknya yang bernama Abbas menjadi khalifah.

Hal itu tidak diinginkan al-Makmun. Akhirnya al-Muktasim diangkat al-Makmun menjadi Khalifah menggantikannya.

Hasan Ibrahim Hasan dalam bukunya berjudul “Sejarah dan Kebudayaan Islam” (Kota Kembang, 1989) menyebutkan setelah al-Muktasim naik tahta, dia memindahkan ibu kota Daulah Abbasiyah dari Baghdad ke Samarra kira-kira 95 Km ke arah hulu sungai Tigris dengan membangun istana dan asrama-asrama tentara yang akan menampung 250.000 tentara.

Dan sebagian dari kota yang dibangunnya itu diberikannya kepada kepala-kepala suku Turki.

Pilihannya jatuh kepada orang-orang Turki karena dia sendiri atau ibunya berasal dari Turki.

Syed Mahmudunnasir dalam bukunya berjudul “Islam Konsepsi dan Sejarahnya” (Rosda Bandung, 1988) menambahkan untuk memperkuat pemerintahannya, maka dibentuklah tentara reguler yang terdiri dari orang-orang Turki yang berasal dari para budak.

Orang Turki yang terkenal jiwa militernya semakin hari semakin memperlihatkan prestasi mereka dalam bidang militer.

Akibatnya, pangkat-pangkat tertinggi dalam kemiliteran diberikan kepada mereka sehingga secara perlahan-lahan tentara Arab dan Persia semakin terdesak ke belakang.

Syed Mahmudunnasir mengatakan begitu besarnya peranan orang-orang Turki tersebut dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah menyebabkan tentara dari unsur Arab dan Persia terpaksa mencari jalan keluar untuk mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang terbebas dari pemerintahan pusat.

Dasuki Ahmad dalam “Ikhtisar Perkembangan Islam” (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian dan Pelajaran Malaysia, 1980) mengatakan peranan yang dimainkan orang-orang Turki pada pemerintahan setelah al-Muktasim sudah sedemikian besar. Para perwira-perwira Turki sudah memegang jabatan yang langsung berada di bawah khalifah.

Khalifah al-Mutawakkil, misalnya, berusaha untuk membatasi peranan mereka, tetapi usahanya itu gagal bahkan dia mati atas kerja sama orang Turki dengan putranya sendiri al-Muntashir.

Hal tersebut bisa terjadi, kemungkinan karena lemahnya khalifah atau karena banyaknya jabatan strategis yang telah mereka duduki.

Menurut Yoesoef Su’yb dalam “Sejarah Daulah Abbasiyah (Bulan Bintang, 1978), jabatan kekhalifahan itu tidak diambil oleh orang-orang Turki, karena memandang bahwa jabatan kekhalifahan itu adalah hak suci orang-orang Arab, sehingga kalau jabatan itu diambil alih, maka dunia akan kiamat, hujan tidak akan turun, matahari tidak akan terbit.

Itulah sebabnya maka jabatan khalifah tetap mereka berikan kepada orang Arab Bani Abbas walaupun sebagai simbol belaka, sementara orang Turki menduduki jabatan di bawah jabatan khalifah.

Pada masa pemerintahan Khalifah al-Radhi (ke-20), supaya untuk membatasi peranan orang Turki diusahakannya juga dengan menambah struktur pemerintahan Daulah Abbasiyah. Jabatan ini disebutnya dengan “Amir Umara” yang berkedudukan di atas menteri. Tugasnya adalah memilih dan melantik pegawai pemerintahan. Maka Abu Ja’far bin Syirzat dipercayakan menduduki jabatan Amir Umara itu.

Karena dari jabatan Amir Umara itu pun keberadaan orang-orang Turki dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak dapat ditekan, maka terpaksa Khalifah al-Mustakfi (ke22) minta bantuan Bani Buwaihi untuk menekan mereka. (*)

More Articles Like This