DALAM perjalanan hidup yang kian menua, kita semakin sering dipertemukan dengan kenyataan-kenyataan yang tidak kita duga. Waktu membawa kita ke simpang-simpang ujian yang menyadarkan: kita bukan siapa-siapa. Segala yang dulu terasa mungkin kini terasa jauh. Semua yang dulu tampak mudah, kini terlihat sulit. Maka pada titik inilah kita mulai memahami, dengan sebenar-benarnya: kita lemah. Sangat lemah.
Kita adalah makhluk yang diciptakan dengan segala keterbatasan. Fisik, akal, waktu, bahkan nafsu—semuanya adalah bukti bahwa kita bukan penguasa. Kita adalah hamba, bukan raja atas hidup kita sendiri. Allah ﷻ menegaskan hakikat ini dalam firman-Nya:
وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Kita lemah karena memang diciptakan untuk bergantung. Bergantung kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi. Maka, saat segala daya upaya telah dicoba, saat usaha telah dikerahkan, namun tak jua membuahkan hasil, sadarilah: hasil bukan milik kita. Keberhasilan bukan semata buah dari usaha, tetapi anugerah dari Allah ﷻ.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
“Dan kamu tidak bisa berkehendak kecuali jika Allah menghendakinya.” (QS. At-Takwir: 29)
Inilah sebab mengapa kita tak bisa hanya bersandar pada kekuatan diri. Kita butuh Allah ﷻ dalam setiap langkah. Butuh panduan-Nya dalam memilih. Butuh taufik-Nya agar tidak tersesat. Butuh rahmat-Nya agar tak patah saat luka menyapa.
Kita sering menilai kehidupan dengan logika sebab akibat. Padahal, dalam skenario Ilahi, tak semua logika bekerja. Banyak perkara yang tidak kita pahami, tetapi tetap terjadi. Banyak rencana yang gagal bukan karena kurang usaha, tapi karena Allah tidak mengizinkan. Karena itu, kita perlu memeluk takdir dengan iman, bukan sekadar pemahaman.
Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk menjadikan doa sebagai senjata. Sebuah pengakuan bahwa kita lemah dan butuh pertolongan-Nya. Sabda beliau:
الدُّعَاءُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ
“Doa adalah senjata orang beriman.” (HR. Al-Hakim)
Maka saat hatimu penuh sesak, sujudlah.
Ketika kau merasa tak tahu harus kemana, hamparkan sajadahmu.
Di situlah kekuatan itu muncul—bukan dari dunia yang riuh, tapi dari langit yang mendengar.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Di saat semua pintu tertutup, ada satu pintu yang selalu terbuka: pintu langit.
Di saat semua manusia meninggalkan, ada satu Dzat yang tetap dekat: Allah ﷻ.
Maka jangan pernah berhenti berharap, jangan pernah lelah berdoa.
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.” (QS. Ghafir: 60)
Allah ﷻ Maha Melihat jerit hati yang tak bersuara. Dia Maha Tahu air mata yang jatuh tanpa kata. Maka tenangkan hatimu. Serahkan semua kepada-Nya.
Yakinlah,
Setiap luka akan ada obatnya.
Setiap malam akan ada fajar.
Dan setiap kesempitan akan diganti dengan kelapangan.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)
Mari kita perbaiki hubungan dengan Allah. Jangan menunggu semuanya hancur dulu baru mendekat. Karena hidayah sejati justru hadir saat kita bersimpuh, bukan saat kita berdiri tegak.
Berserah itu bukan berarti menyerah.
Namun tanda bahwa kita mempercayakan segalanya kepada Yang Mahakuasa.
Dan saat itulah, kita akan temukan makna sejati dari kehidupan:
Menjadi hamba yang sadar diri.