MASA futur adalah realitas ruhani yang kerap menimpa seorang muslim. Pada masa ini, seseorang merasa malas beribadah, hatinya kering dari khusyuk, dan jiwanya seperti kehilangan arah. Tetapi ini adalah fase ujian yang telah banyak dialami oleh para salafus salih. Namun, justru dalam futur inilah seorang hamba bisa melihat dirinya yang sejati. Akankah dia bertahan atau kembali kepada kebiasaan buruknya?
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah menulis dalam Madarijus Salikin:
وَفِي هَذِهِ مِنَ الْحِكَمِ مَا لَا يَعْلَمُ تَفْصِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَبِهَا يَتَبَيَّنُ الصَّادِقُ مِنَ الْكَاذِبِ، فَالْكَاذِبُ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَيَعُودُ إِلَى رُسُومِ طَبِيعَتِهِ وَهَوَاهُ، وَالصَّادِقُ يَنْتَظِرُ الْفَرَجَ وَلَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ
“Pada hal ini (masa futur) terdapat hikmah yang tidak diketahui rinciannya kecuali Allah. Dengannya, akan tampak siapa yang jujur dan siapa yang dusta. Orang yang dusta akan kembali pada tabiat buruk dan hawa nafsunya, sedangkan orang yang jujur akan bersabar menanti jalan keluar dan tidak putus asa dari rahmat Allah.” (Madarijus Salikin, hlm. 841-842)
Maka, masa futur adalah mekanisme langit untuk menapis keimanan. Orang yang hanya menumpang pada gelora iman akan gugur saat futur datang, kembali pada maksiat dan dunia. Sedang orang yang tulus akan bersabar dan memperbaiki niat. Ia terus berjalan meski terseok, ia terus mengetuk pintu rahmat Allah dengan mata penuh air mata.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)
Futur adalah kesulitan, dan sabar adalah kunci menuju kemudahan. Saat futur datang, jangan berprasangka buruk kepada Allah. Justru inilah waktunya menguji cinta yang selama ini kita deklarasikan dalam doa dan sujud.
Rasulullah ﷺ pun pernah menegaskan pentingnya menjaga konsistensi iman:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
“Setiap amal itu memiliki masa semangat, dan setiap masa semangat memiliki masa futur. Barang siapa masa futurnya masih dalam (kerangka) sunnahku, maka ia beruntung. Namun siapa yang masa futurnya berada di luar sunnahku, maka ia celaka.” (HR. Ahmad, hasan shahih)
Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ tidak menafikan adanya futur. Beliau justru mengajarkan bahwa yang paling penting adalah bagaimana seseorang bersikap saat futur terjadi. Jika ia tetap menjaga prinsip dasar syariat, walau amalnya menurun, ia masih dianggap berada di jalur keselamatan.
Imam Al-Ghazali menasihati dalam Ihya’ Ulumuddin:
“Orang yang berjalan di jalan Allah, janganlah berhenti hanya karena ia merasa tertatih. Jangan pula berputus asa hanya karena sesekali ia jatuh. Karena jalan ini memang panjang dan penuh liku, tapi hanya yang terus melangkahlah yang akan sampai.”
Maka, saat futur menyergap, kuncinya adalah: bertahan. Jangan hentikan shalatmu meski tanpa khusyuk. Jangan tinggalkan dzikirmu meski tanpa rasa. Teruslah mengulang Al-Qur’an meski hanya satu ayat. Karena pada akhirnya, ketulusan diuji bukan saat bersemangat, tapi saat melemah.
Allah Ta’ala meneguhkan dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga serta bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)
Begitulah, masa futur adalah bagian dari perjalanan menuju Allah. Kadang kita merasa hilang arah, namun siapa yang tetap berharap kepada-Nya, pasti akan dituntun kembali. Allah tidak menciptakan rasa lelah kecuali untuk menumbuhkan rasa butuh. Dan Allah tidak membiarkan seorang hamba tenggelam dalam futur jika ia terus meminta petunjuk.
Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandari menulis dalam Al-Hikam:
“Jangan putus asa jika engkau terjatuh dalam dosa. Sebab bisa jadi, dari rasa berdosamu itu Allah membukakan pintu taubat yang tak kau sangka.”
Maka jangan pernah menyerah pada futur. Sesungguhnya, Allah tidak melihat siapa yang paling kencang larinya, tapi siapa yang tetap melangkah ketika kaki terasa berat. Dalam futur, jangan biarkan bisikan setan menjadi fatwa. Jadikan Al-Qur’an sebagai teman, dan sunnah Nabi ﷺ sebagai kompas.
Ingatlah firman-Nya:
قُلْ يَا عِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Katakanlah (wahai Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Yakinlah, masa futur bukanlah titik akhir. Ia hanyalah jeda. Jeda agar kita kembali menyusun ulang niat, memperbaiki jalan, dan mendekap lebih erat kepada Allah. Maka, jangan takut dengan futur. Takutlah jika futur membuatmu berhenti.
Karena yang terpenting bukan seberapa sering kita futur, tapi seberapa sering kita kembali kepada-Nya. (*)