LELAH ini bukan sekadar peluh
Yang jatuh di dahi dalam bisu,
Ia tanya yang menderu di relung kalbu:
“Untuk siapa kau habiskan letihmu?”
Saudaraku…
Langit pun lelah menurunkan hujan,
Tapi ia tabah karena tahu tujuannya.
Bumi pun letih memikul pijakan,
Tapi ia sabar demi kehidupan ciptaan-Nya.
Maka bagaimana dengan kita?
Yang tiap hela nafas dibayar nikmat,
Tapi kadang lelah bukan karena syariat,
Melainkan dunia yang fana dan menjerat.
Pernahkah kita letih karena Qur’an?
Karena sujud panjang di keheningan malam?
Karena langkah ke masjid di fajar kelam?
Atau justru lelah karena mengejar gemerlap semu yang padam?
Lelah karena maksiat,
Mata menatap yang haram,
Lidah mencibir yang benar,
Kaki melangkah menuju cela.
Padahal semua itu hanya menambah bara,
Menumpuk beban saat nyawa ditarik paksa.
Lelah karena taat,
Adalah bekas cinta di tubuh para pejuang,
Lusuh pakaian, debu perjalanan,
Namun harum di sisi Tuhan.
Seperti jamaah yang berdiri di Arafah,
Dalam debu, namun dipuji oleh langit dan malaikat-Nya.
Saudaraku…
Fir’aun pun rela lelah mengejar Musa,
Namun lelahnya ditenggelamkan murka.
Sedang Musa, lelahnya menyelamatkan ummat,
Diabadikan sebagai kisah selamat.
Lihatlah…
Para pencari neraka pun rela berpeluh,
Mengapa kita, pencari surga,
Tak rela untuk lelah bersungguh?
Maka pilihlah:
Lelah yang melahirkan azab,
Atau lelah yang menghantar ke harap.
Sebab surga,
Tak pernah dibeli oleh angan,
Tapi dimiliki oleh mereka yang sabar dalam ujian,
Yang lelahnya disematkan hanya pada perjuangan.
Mari kita bayar lelah karena dosa,
Dengan lelah karena taat yang nyata.
Lelahkan mata untuk Qur’an,
Langkah untuk majelis dan shalat,
Agar setiap letih jadi bukti cinta,
Bukan dosa yang membatu di dada.
Dan jika kelak tubuh ini rebah,
Biarlah ia jatuh dalam ibadah,
Agar malaikat pun bersaksi ramah:
“Ia letih karena cinta pada Allah.”
