JAKARTAMU.COM | Seorang saudagar memelihara burung dalam sangkar. Ia akan berangkat ke India, tanah asal burung itu, dan bertanya kalau-kalau burung itu ingin meminta oleh-oleh dari sana.
Burung itu meminta kebebasannya, tetapi ditolak. Jadi, ia minta saudagar itu pergi ke hutan di India dan mengabarkan tentang penangkapannya kepada burung-burung bebas yang ada di situ.
Saudagar itu pun berbuat demikian, dan tak lama setelah diucapkannya pesan itu, seekor burung liar yang serupa dengan peliharaannya, jatuh dari pohon dan tak sadarkan diri.
Saudagar itu berpikir bahwa itu pastilah kerabat burung peliharaannya, dan merasa sedih karena ia telah menyebabkan kematiamya.
Ketika ia pulang, burungnya menanyakan apakah Si Saudagar membawa kabar baik dari India.
“Tidak,” kata saudagar itu, “aku khawatir kabar buruklah yang kubawa. Salah seekor kerabatmu terkejut dan jatuh dekat kakiku ketika kukabarkan tentang keadaanmu yang berada dalam sangkar.”
Segera setelah berita tersebut disampaikan, burung itu roboh dan jatuh ke dasar sangkar.” “Kabar kematian sanaknya menyebabkannya mati juga,” pikir saudagar itu.
Dengan sedih diambilnya burung itu, lalu diletakkannya di ambang jendela. Seketika itu Si Burung hidup kembali dan terbang ke pohon terdekat.
“Sekarang kau tahu,” kata burung itu, “bahwa yang kau pikir kabar buruk, sebenarnya kabar baik bagiku. Dan pesan, yakni cara bagaimana berpura-pura, untuk membebaskan diriku, diberitahukan kepadaku lewat kau, penawanku.” Dan burung itu pun terbang, akhirnya bebas.
Fabel Rumi ini adalah satu dari sekian banyak yang menekankan kepada Pencari Sufi, pentingnya pengajaran tak langsung dalam Sufisme.
Peniru dan sistem yang dirancang sesuai dengan pemikiran konvensional, di Timur maupun di Barat, umumnya memilih menekankan pada ‘sistem’ dan ‘program’, alih-alih pada totalitas pengalaman yang diterapkan dalam madrasah Sufi.