KERETA sore itu melaju pelan melewati sawah-sawah basah. Jendela berkabut oleh embun sisa hujan semalam. Di bangku dekat jendela, aku duduk sendiri. Tas kecil di pangkuan, tangan menggenggam buku catatan yang sudah bertahun menemani.
Di seberang, seorang ibu tua tertidur dengan kepala bersandar di dinding gerbong. Seorang anak muda asyik dengan gawai. Aku menatap mereka sesekali, lalu kembali memandang ke luar. Langit senja menguning keemasan, tapi rasanya tak ada kehangatan yang menetes ke hatiku.
Aku belum benar-benar tahu ini perjalanan menuju apa. Yang kutahu hanya satu: aku sedang menjauh, bukan melarikan diri, bukan pergi untuk selamanya. Tapi menjauh, agar bisa mendengar lagi suaraku sendiri, yang sudah lama tenggelam di antara gemuruh luka.
Di dompet, ada tiket pulang yang belum kutentukan tanggalnya. Tiket itu seperti ruang tunggu antara kembali atau tidak, antara sembuh atau patah seluruhnya.
Setiba di rumah ibu, senyumnya menyambut seperti matahari yang tak menuntut. Ia tak banyak tanya. Hanya memelukku erat, lama, seolah tahu bahwa pelukannya lebih dibutuhkan daripada nasihat.
“Kau bisa di sini selama yang kau mau,” katanya, sambil menepuk punggungku. “Tak perlu cerita kalau belum siap.”
Dan aku pun diam. Tapi diamku bukan tanda tertutup, melainkan sedang menampung air yang terlalu penuh.
Malam di rumah ibu lebih sepi, tapi entah kenapa terasa lebih damai. Tak ada langkah kaki yang ditunggu, tak ada suara kunci di pintu yang membuat hati berdebar karena takut siapa yang datang.
Di kamar masa kecilku, aku memandangi langit-langit yang penuh bekas tempelan bintang fosfor yang dulu kutempel bersama ayah. Banyak yang sudah pudar, tapi beberapa masih menyala samar.
Aku terbaring sambil membuka kembali catatan lama. Halaman terakhir berisi nama-nama bulan, dengan tanda lingkar di bulan-bulan saat kami dulu merayakan ulang tahun pernikahan, ulang tahun anak, dan satu momen kecil yang dulu kami sepakati sebagai ‘hari pertama saling jatuh cinta’. Kini semua itu hanya seperti coretan bekas yang tak punya gema.
Namun malam itu, aku menulis ulang bukan untuk mengenang, tapi untuk melepaskan.
Kuketik di ponsel:
> Satu: aku masih hidup meski tanpamu di sisiku.
Dua: aku boleh merasa lelah dan sedih, tapi tak berarti aku lemah.
Tiga: aku tak menyesal mencintaimu. Tapi aku belajar bahwa mencintai juga berarti tahu kapan harus berhenti memaksa.
Kubaca ulang tiga poin itu, lalu kututup layar. Ponsel kuletakkan di meja. Kutarik selimut dan mencoba tidur. Tapi yang datang malah mimpi lama tentang kita berjalan di stasiun, tentang kau menggenggam tanganku kuat, dan aku percaya itu tak akan pernah lepas.
Pagi hari, ibu membuatkan teh. Uapnya menari di udara dapur yang sunyi.
“Kamu yakin akan kembali ke rumah itu?” tanya ibu, lembut.
Aku menatap cangkir. Diam sejenak. “Aku belum tahu, Bu. Tapi aku tahu, rumah itu bukan tentang bangunan. Rumah itu tentang rasa pulang. Dan aku tak yakin dia masih menyisakan ruang untukku.”
Ibu mengangguk. Tak menghakimi. Ia hanya mengelus tanganku. “Pulanglah saat kau benar-benar ingin pulang. Bukan karena merasa harus.”
Hari-hari berlalu seperti jam di ruang tunggu. Pagi berganti sore, sore berubah malam. Aku sesekali membuka ponsel, mengecek apakah ada pesan darimu. Tapi yang kutemukan hanya notifikasi receh diskon belanja, kabar cuaca, pesan dari grup keluarga yang tak pernah kau tanggapi.
Sampai pada suatu siang yang cerah, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Bukan dari nomor yang tersimpan. Tapi aku mengenal susunan kalimatnya. Singkat. Tertahan.
> “Apakah kamu akan pulang?”
Aku membaca pesan itu berulang kali. Kutatap layar lama. Tak ada tanda tanya di pesanmu, tapi aku bisa merasakannya. Bukan pertanyaan tentang alamat atau tempat. Tapi pertanyaan yang jauh lebih dalam: apakah kamu masih ingin menjadi bagian dari rumah ini?
Jemariku mengambang di atas layar. Tapi tak ada jawaban yang kutulis malam itu. Bukan karena aku tak tahu, tapi karena aku sadar: rumah bukan tempat untuk dipertanyakan, melainkan untuk dirasakan.
Dan saat rumah kehilangan rasa itu, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu?
Aku pun kembali menyimpan ponsel. Lalu berjalan ke halaman belakang, menatap langit yang perlahan meredup.
Di situ, di bawah langit yang tak punya kepastian, aku berdiri dalam ruang tunggu yang tak bernama.
Sendiri. Tapi tidak hancur.
(Bersambung seri ke-15: Pelukan yang Tak Pernah Diminta)