JAKARTAMU.COM | “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” Sabda Nabi Muhammad SAW itu kerap terdengar di mimbar-mimbar Jumat, selewat konflik horizontal, atau menjelang Pemilu. Namun, sebagaimana takdir klise di banyak negeri Muslim, sabda itu lebih sering tinggal sebagai kutipan, bukan laku.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, ulama terkemuka asal Mesir, membaca problem ini jauh-jauh hari. Dalam buku Malaamihu Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nasyuduh yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah, Al-Qardhawi merinci tingkatan mahabah (kecintaan) di antara sesama Muslim, sebuah ikatan sosial dan spiritual yang makin rapuh di tengah meningkatnya fragmentasi sosial-politik umat.
Mahabah: Dari Membersihkan Hati hingga Menyintai Sesama
Dalam hierarki mahabah versi Al-Qardhawi, tingkatan paling dasar adalah salaamatush shadr—bersihnya hati dari dengki, iri, dan kebencian. Bagi Al-Qardhawi, inilah “pagar awal” dalam interaksi sesama Muslim. Ketika pagar ini rubuh, permusuhan pun masuk tanpa permisi.
Al-Qardhawi menegaskan bahwa permusuhan dan kebencian bukan sekadar perilaku individual, tapi sebuah bentuk siksaan kolektif yang ditimpakan Allah kepada umat yang mengingkari risalah-Nya. Ia merujuk pada QS Al-Ma’idah ayat 14 dan 91, yang menyebut bagaimana kebencian bisa menjadi produk dosa-dosa besar seperti judi dan minuman keras.
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu…,” demikian firman Allah dalam Al-Ma’idah: 91.
Permusuhan: Warisan Jahiliah
Permusuhan bukan sekadar salah paham biasa dalam kacamata Al-Qardhawi. Ia menyebutnya sebagai “penyakit umat” atau Da’ul Umam. Hadis Nabi menggambarkannya sebagai al-haliqah—bukan pemotong rambut, melainkan pemotong agama.
Berulang kali, Nabi mengingatkan bahwa memperbaiki hubungan dua orang yang berselisih lebih utama daripada salat, puasa, atau sedekah. Namun, di banyak komunitas Muslim hari ini, memperbaiki hubungan justru kerap dinilai “tidak produktif”, sementara konten debat, celaan, dan adu narasi jauh lebih viral.
“Setan menjual dagangannya dengan laris,” tulis Al-Qardhawi, menyindir bagaimana suasana penuh curiga menjadi ladang subur bagi fitnah, ghibah, dan adu domba.
Ketika Damai Menjadi Amal Sosial
Yang menarik, syariat Islam bahkan mengalokasikan zakat untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih. Di zaman Nabi, tokoh-tokoh berjiwa besar menanggung denda dua kabilah yang bertikai meski mereka sendiri tidak bergelimang harta. Islam memahami bahwa mendamaikan umat memerlukan biaya, tenaga, dan kadang sedikit kompromi.
Di sinilah Al-Qardhawi memetik satu hadis yang unik: “Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara dua pihak, lalu berkata dengan baik…” Dalam konteks ini, rekayasa ucapan bukanlah kebohongan, melainkan strategi menyelamatkan ukhuwah.
Mencintai Seperti Mencintai Diri
Puncak dari mahabah menurut Al-Qardhawi adalah ketika seseorang mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Di titik ini, empati menjelma sebagai standar moral. Ia ingin anaknya cerdas, maka ia juga ingin anak tetangganya cerdas. Ia takut disakiti, maka ia menahan diri agar tidak menyakiti.
Sayangnya, banyak umat Islam kini lebih sibuk mencurigai akidah sesamanya ketimbang memperbaiki niat. Di media sosial, satu perbedaan mazhab atau pendapat bisa membakar ratusan komentar berisi kebencian. Musuh utama bukan lagi setan, tapi saudara seiman dengan pilihan politik berbeda.
Antara Ideal dan Realitas
Apa yang ditawarkan Al-Qardhawi bukan sekadar doktrin, melainkan panduan membangun masyarakat beradab. Tapi di era algoritma, di mana kebencian lebih viral daripada kasih sayang, pesan mahabah butuh lebih dari sekadar dikhotbahkan. Ia harus diperjuangkan, dalam narasi, tindakan, dan kebijakan.
“Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu,” firman Allah dalam QS Al-Anfal ayat 1. Tapi siapa yang sudi mendengar jika hati kita masih berisik oleh prasangka?