Senin, Juni 9, 2025
No menu items!

Takh­ta di Atas Segalanya: Kita Perlu Kembali kepada Ibrahim dan Musa

Dari Fir’aun ke Namrud, dari Louis XIV ke diktator abad modern: mengapa kekuasaan yang kehilangan Tuhan selalu mengarah pada kezaliman?

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Dalam setiap fase sejarah, selalu ada tokoh yang memutuskan bahwa dirinya adalah segalanya. Ia mengira kursi kekuasaan yang didudukinya adalah puncak pencapaian manusia, dan tak ada yang lebih tinggi dari itu, bahkan Tuhan sekali pun.

Muhammad Imaduddin Abdulrahim, pemikir Muslim yang cukup keras dan tajam dalam melihat realitas kekuasaan, menyebut gejala itu sebagai bentuk paling purba dari kemusyrikan: ketika manusia menyembah dirinya sendiri. Dalam Kuliah Tauhid, ia menyebut bahwa setiap diktator akan meletakkan takhtanya di atas segala-galanya. Dan ketika itu terjadi, kezaliman bukan lagi penyimpangan, melainkan sistem yang dilestarikan.

Sejarah mengingat banyak nama: Louis XIV di Prancis yang berani berkata L’état, c’est moi, negara adalah aku; Fir’aun dari Mesir yang menobatkan dirinya sebagai ilah; hingga Namrud dari Mesopotamia yang menjadikan patung sebagai alat konsolidasi simbolik kekuasaan. Masing-masing berpijak pada satu titik yang sama: kekuasaan tak terbatas yang diletakkan di atas logika dan hukum moral.

Dewa Palsu dan Undang-Undang Sepihak

Kekuasaan, dalam banyak peradaban, sering kali dilihat sebagai amanah. Tapi dalam realitas kekuasaan absolut, amanah itu menjelma menjadi milik pribadi. Kegagalan memisahkan antara kekuasaan sebagai tanggung jawab dan kekuasaan sebagai milik pribadi inilah yang melahirkan musyrik politik: pemimpin yang mempertuhankan jabatan.

Fir’aun tak sekadar membangun piramida, ia membangun sistem kasta di Mesir dengan satu klaim utama: hanya dirinya yang berhak menjadi pembuat hukum. Di bawah kekuasaannya, rakyat Yahudi—yang awalnya datang sebagai kaum migran melalui Yusuf—dijatuhkan menjadi buruh, bahkan budak. Tenaga kerja murah, kelas sosial yang ditentukan oleh darah, dan sistem ekonomi berlapis menjadi alat mempertahankan singgasana.

Konsep tauhid yang diperjuangkan Musa AS adalah bentuk pembebasan: bahwa manusia hanya tunduk pada hukum Tuhan, bukan pada titah sewenang-wenang penguasa. Tapi seperti semua diktator lainnya, Fir’aun tak memberi ruang pada kritik. Musa dianggap ancaman karena membawa satu hal yang paling dibenci setiap pemegang takhta: keberanian rakyat untuk berpikir merdeka.

Simbol, Slogan, dan Pemeliharaan Kebodohan

Namrud pun begitu. Ia memainkan simbol dan slogan, memanipulasi nalar masyarakat yang terbiasa berpikir mitologis. Dengan patung-patung yang diukir ayah Nabi Ibrahim sendiri, Azar, Namrud menciptakan keagungan palsu, sebuah pantheon kekuasaan yang sebenarnya adalah cerminan dirinya sendiri.

Ibrahim, dengan satu tindakan simbolik, menghancurkan patung-patung itu kecuali satu. Saat ditanya, ia dengan jenaka menjawab: “Tanyalah kepada patung besar itu, kampaknya ada di tangannya.” Sebuah ironi yang membuka tabir: rakyat mulai sadar bahwa mereka selama ini ditipu oleh batu bisu dan pemerintah yang memperbudak nalar.

Namun sebagaimana Fir’aun, Namrud tahu satu hal: berpikir adalah awal dari pemberontakan. Maka seperti diktator pada umumnya, ia menghentikan dialog, lalu membakar Ibrahim hidup-hidup. Kekuasaan, dalam pandangan Namrud, adalah monolog abadi, tanpa ruang tanya, apalagi jawab.

Kekuasaan Mutlak dan Tiga Tuhan Palsu

Imaduddin menulis bahwa manusia yang kehilangan tauhid akan segera mencari pengganti Tuhan, dan biasanya akan menemukan tiga: takhta, harta, dan wanita. Tiga “tuhan” inilah yang melingkupi para diktator dalam sejarah. Mereka membentuk lingkaran setan: kekuasaan dibentengi militer, militer dibayar dengan harta, dan harta dijadikan umpan untuk memperluas pengaruh.

Diktator tidak mengizinkan hadirnya orang yang setara, bahkan hanya sekadar dianggap karismatik. Tak heran bila sejarah mengenal para pemimpin paranoid: mereka yang memusnahkan orang terdekatnya sendiri karena takut kehilangan kontrol. Di sekeliling mereka hanya ada dua jenis manusia: penjilat dan pengganti yang menunggu waktu.

Namun sejarah juga mencatat: kekuasaan semacam itu selalu berakhir tragis. Adolf Hitler bunuh diri di bunker, Mussolini digantung di Milan, Syah Iran kabur meninggalkan istana, Ferdinand Marcos tersingkir, Duvalier digulingkan. Setiap diktator akan ditelan oleh kekuatan yang mereka ciptakan sendiri.

Merawat Kemerdekaan, Menjaga Tauhid

Dalam kerangka tauhid, kemerdekaan bukanlah soal politik semata, tapi hakikat manusia. Seorang mukmin sejati, kata Imaduddin, tak akan menukar kemerdekaannya dengan tuhan-tuhan palsu, seindah apa pun kemasannya. Karena hanya dengan tauhid, manusia bisa benar-benar merdeka: dari ketakutan, dari kerakusan, dari penyembahan kepada sesama manusia.

Di dunia yang terus menciptakan figur pemuja kuasa, kita perlu kembali kepada Ibrahim dan Musa: dua nabi yang melawan takhta demi kemanusiaan. Sebab sejarah akan selalu berulang, dan tirani selalu menemukan wajah barunya.

Tapi selama masih ada orang yang berpikir, yang menolak untuk tunduk, selalu ada harapan bahwa kekuasaan akan kembali pada tempatnya: sebagai amanah, bukan sesembahan. (*)

Dari Klinik ke Panti, Perjalanan Mulia Tahfiz Qur’an Tuna Netra PCA Pondok Gede

MINGGU (8/6/2025), Panti Asuhan Muhammadiyah Hj Ida Asni Taher, Jati Cempaka, Pondok Gede, Kota Bekasi, lebih ramai dari biasanya....
spot_img
spot_img

More Articles Like This